VAISHNAV JAN TO
1.
VAISHNAV JAN TO TENE KAHIYE JE PEED PARAAEE JANE RE ...
Vaishnava sejatilah dia, yang memahami derita orang lain dan merasakannya sebagai dukacitanya sendiri.
PAR DUKKHE UPAKAR KARE TOYE, MAN ABHIMAN NA AANE RE ...
Selalu bersedia melayani mereka yang sengasara, tanpa membiarkan kebanggaan bertumbuh dalam batinnya
2.
SAKAL LOK MAAN SAHUNE VANDE, NINDAA NE KARE KENI RE ...
Bersujud dengan rendah hati pada setiap orang. Tanpa pernah mencari kesalahan atau memperhatikan kekurangan mereka.
VAACH-KAACCH-MAN NISCHAL RAAKHE, DHAN-DHAN JANANI TENI RE ..
Dia menjaga ucapan, perbuatan, dan pikirannya senantiasa suci murni. Terberkatilah ibu yang memiliki seorang putra demikian.
3.
SAM-DRUSHTI NE TRISHNAA TYAAGI, PARASTREE JENE MAAT RE ...
Memandang semuanya dengan kesetaraan. Dirinya telah terlepas dari belenggu nafsu, memperlakukan setiap wanita sebagaimana ibunya sendiri.
IHVAA THAKE, ASATYA NA BOLE, PAR-DHAN NAVA JHAALE HAATH RE ...
Dusta tak terucap oleh lidahnya, niat memiliki harta orang lain tidak menodainya.
4.
MOH-MAAYAA VYAAPE NAHIN JENE, DRADH VAIRAGYA JENA MANMAA RE ...
Ikatan duniawi yang mengkhayalkan tidak membelenggunya. Batin sepenuhnya terpancang kuat dalam ketidakterikatan sejati.
RAAM-NAAM SHU TAALE LAAGI, SAKAL TEERATH TENA TANMAA RE ...
Setiap saat khusuk dalam melantunkan Nama Suci Sri Rama. Segala tempat perziarahan suci hadir di tubuhnya.
5.
VANA LOBHI NE KAPAT RAHIT CHHE, KAAM KRODH NIVAARYA RE ...
Keserakahan, rasa iri-dengki, nafsu birahi, dan amarah telah ditaklukkannya.
BHANE NARSAIYYON TENO DARSHAN KARTAUN, KUL EKOTER TARYA RE ...
“Hanya dengan melihat seorang Vaishnava demikian, dua puluh satu generasi keluarga terselamatkan dari samsara!”, seru Narsinh
Narsinh Mehta, juga dikenal sebagai Narsi Mehta atau Narsi Bhagat (1414 -1481) adalah seorang suci penyait dari Gujarat, India, termashyur sebagai seorang bhakta dan tokoh dalam dunia sastra kebaktian Hindu. Beliau terutama dihormati di Negara bagian Gujarat, dimuliakan sebagai Adi Kavi, Sang Pujangga Perdana. Lagu Bhajan gubahannya, “Vaishnava Jana To Tene Re Kahiye…” adalah kesukaan Mahatma Gandhi dan menjadi identik dengannya.
Keterangan pasti tentang riwayat hidup Narsinh Mehta tidak tersedia. Berdasarkan penelusuran melalui sejarah dan sastra, Narsinh dipastikan lahir di Talaja, Distrik Bhasnagar, Saurasthra, dalam komunitas Nagar. Beliau ditinggal mati oleh ibunya saat masih anak-anak (sekitar tahun 1425). Narsinh menikahi Manekbai kira-kira pada tahun 1428 dan segera setlahnya, beliau kehilangan seorang paman yang telah membesarkannya. Narsinh dan istrinya lalu pindah tinggal di tempat sepupunya sendiri, Bansidhar, di Junagadh. Namun tampaknya istri sepupunya itu tidak menyambutnya dengan baik. Wanita ini seorang yang bertabiat buruk, selalu mengganggu dan mengejek pemujaan yang dilakukan oleh Narsinh pada Tuhan. Sampai suatu ketika Narsinh sudah tidak tahan lagi dengan semua perlakuan itu dan memutuskan meninggalkan rumah, mengasingkan diri di sebuah hutan di dekat sana. Demi mencari kedamaian beliau duduk di sisi sebuah Siva-linga, berpuasa dan bermeditasi selama tujuh hari, sampai kemudian Siva sendiri menampakkan diri menjumpainya. Atas permohonan sang pujangga, Siva membawanya ke Vrindavan dan menunjukkan kepadanya Rasa-lila kekal yang dilangsungkan oleh Tuhan Sri Krishna bersama para gopi, gadis-gadis gembala dari Vrindavan. Legenda menyatakan bahwa saat itu Narsinh begitu terpukau memandang keindahan Tuhan dan kegiatan sukacita-Nya yang mempesona, sehingga tangannya terbakar obor yang mulai habis tanpa dia sendiri menyadari rasa panas atau sakitnya. Narsinh, sebagaimana diyakini oleh masyarakat, lalu memutuskan untuk menyanyikan puji-pujian kepada-Nya dan melukiskan manisnya pengalaman akan rasa sukacita rohani kepada dunia kita ini, atas perintah dari Sri Krishna. Hasilnya, 22.000 puisi kirtana mampu digubahnya.
Setelah pengalaman batin ini, Narsinh yang telah mengalami transformasi diri lalu kembali ke desanya, menyentuh kaki ipar perempuan yang sering menyiksanya itu, dan berterimakasih atas semua perlakuan yang telah ia berikan selama ini. Perlakuan buruk itu telah menjadi pemicu bagi pengalaman rohaninya.
Di Junagadh, Narsinh tetap hidup dalam kemiskinan bersama istrinya dan dua anak, seorang putra bernama Shamaldas, dan seorang putri yang memperoleh kasih sayangnya yang istimewa, Kunwarbai. Dia mencurahkan isi hatinya dalam manisnya Bhakti tanpa membedakan status maupun jenis kelamin, bersama para sadhu, orang-orang suci, dan masyarakat dari lapisan terbawah yang paling malang, rakyat yang hanya memiliki Tuhan sebagai pelindung satu-satunya, para Harijan. Narsinh juga terjebak oleh jatuhnya reputasi dan nama baiknya karena pergaulannya dengan para pengikut perempuannya, yang turut menyanyi dan menari-nari bersama beliau. Kaum Nagar yang terhormat dari Junagadh tak henti-hentinya memaki dan mengucilkannya. Saat itu, Narsinh telah menyanyikan lagu-lagu tentang Rasalila antara Radha dan Krishna. Gubahannya ini termasuk dalam karya-karya Shringara (percintaan erotis). Mereka yang tidak memiliki kepantasan rohani selalu salah paham dengan bentuk-bentuk uraian semacam ini dan menyamakannya dengan karya sastra erotis yang biasa. Bentuk karya Shringara yang bersifat rohani dibedakan dari karya-karya klasik bertema percintaan yang lumrah dari India abad pertengahan lainnya.
Tak lama setelah pernikahan putrinya, Kunwarbai, dengan putra dari Sringara Mehta, Kunwarbai pun mengandung dan menjadi adat bagi orangtua pihak wanita untuk memberikan hadiah kepada para menantu laki-lakinya saat istri mereka hamil tujuh bulan. Adat ini disebut Mameru, tentu saja berada di luar jangkauan kemampuan ekonomi Narsinh yang miskin, yang hampir tidak punya sesuatupun yang berharga selain keyakinannya yang tak tergoyahkan kepada Tuhan.
Bagaimana akhirnya Tuhan Sendiri turun tangan untuk membantunya, dilukiskan oleh Narsinh dalam lagu ”Mameru Na Pado”. Kisah ini tergambar jelas dalam benak setiap orang Gujarati sampai jauh setelah masa hidupnya, ditandai oleh banyaknya puisi-puisi dan film-film yang mengisahkannya. Kisah lainnya adalah ketika Shamalsha Seth (Si Hitam yang berperan sebagai Seth. Si Hitam adalah julukan akrab untuk Krishna dan Seth artinya tuan kaya) menghapuskan isi surat utang yang ditandatangani oleh pemuja-Nya yang miskin ini. Kejadian lain dikenal sebagai ”Har Mala”. Ra Mandlik (1451 - 1472) seorang penguasa setempat dan bawahan Sultan Delhi menantang Narsinh untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah dalam sebuah kasus pelanggaran moral dan membuat Sri Krishna Sendiri hadir mengalungkan untaian bunga di lehernya. Sri Krishna juga hadir dalam wujud seorang saudagar kaya dan membantu pernikahan putranya. Narsinh mengenang bantuan ini dalam puisi “Putra Vivah Na Pado”.
Mahmud Begada (Mahmud Shah I, 1458 – 1511), menduduki Junagadh pada tahun 1467 dan tak lama setelah penyerbuan oleh kaum Muslim di sana sini, kota tersebut akhirnya dimasukkan dalam wilayah Kesultanan Gujarat. Mungkin untuk menghindari akibat-akibat yang tidak diinginkan, Narsinh pindah ke Mangrol, dan diyakini meninggal di sana pada usia 66 tahun. Crematorium yang terdapat di Mangrol disebut “Narsinh Nu Samshan”, kemungkinan merupakan tempat dilangsungkannya upacara terakhir bagi putra Gujarat yang teragung ini. Beliau akan selalu diingat melalui karya-karyanya yang dibaktikan demi Tuhan. Beliau termashyur sebagai pujangga yang paling awal dari Gujarat.
Salah satu ciri unik karya-karya Narsinh adalah saat ini hampir tidak ada yang tersedia dalam bahasa yang digunakan oleh Narsinh sendiri saat menggubahnya. Ini menandakan bahwa karyanya demikian tersebar luas melalui tradisi oral dan tetap dilestarikan seperti itu. Naskah tertua dari karyanya yang masih dapat ditemukan berasal dari sekitar tahun 1612, ditemukan dari Gujarat Vidyasabha oleh cendikiawan yang terkenal, K.K. Shastri. Karena sangat populernya karya-karya Narsinh, maka seiring berjalannya waktu, bahasa yang digunakan turut berubah. Untuk mudahnya, hasil gubahan Narsinh Mehta dapat digolongkan menjadi:
1. Karya yang bersifat autobiografi: Putra Vivah, Mameru, Hundi, Har Same Na Pado, Jhari Na Pado, dan karya-karya yang berhubungan dengan penerimaan para Harijan. Karya-karya ini berkaitan dengan berbagai peristiwa dalam kehidupan sang pujangga dan mengungkapkan bagaimana beliau berjumpa dengan Yang Illahi dalam berbagai rupa. Mereka menguraikan keajaiban dan mukjizat, bagaimana Tuhan dari Narsinh, turut campur tangan membantu hamba-Nya ini melalui masa-masa tersulitnya.
2. Bermacam-macam uraian peristiwa yang berdasarkan atas Srimad Bhagavatam, misalnya:
Chaturi: 52 syair yang menyerupai karya agung Jaideo (Jayadeva), Sri Gita Govinda, mengisahkan berbagai kegiatan percintaan Radha dan Krishna.
Dana Lila: mengisahkan peristiwa saat Krishna menjadi pemungut pajak dari para gadis gembala yang akan menjual mentega ke Mathura.
Sudama Charita: mengisahkan salah satu peristiwa paling terkenal yaitu riwayat brahmana miskin Sudama yang menjadi kawan baik Krishna.
Govinda Gamana: mengisahkan kepergian Krishna ke Mathura setelah dijemput oleh Akrura.
Surata Sangrama: artinya Peperangan Cinta, mengisahkan permainan kasih Radha dan Krishna dalam bentuk perang tanding antara Radha bersama teman-teman-Nya di satu sisi dan Krishna beserta kawan-kawan-Nya sebagai lawan.
Kejadian-kejadian lain dari Bhagavata seperti kelahiran Krishna, permainan-Nya saat anak-anak, canda ria-Nya, dan berbagai petualangan-Nya yang lain.
3. Lagu-lagu yang bertema Shringar: ratusan syair yang menggambarkan dan bertema petualangan cinta yang bersifat erotis seperti Tarian Rasa.
Rabu, 17 Maret 2010
Senin, 08 Maret 2010
MURID YANG TAK TERNILAI MULIANYA
Kureshan adalah salah satu dari empat murid utama Sri Ramanuja. Tahun ini merupakan perayaan ke 1000 Thirunakshatram (hari kelahiran) Sri Kureshan yang dikenal juga dengan sebutan hormat Kurattalvan.
Kureshan berasal dari dusun Kura yang terletak di dekat kota suci Kanchipuram. Beliau termasuk dalam marga Harita dan seorang yang cukup berada, makmur, serta pemilik tanah yang hidup rukun damai bersama sanak saudara dan handai taulannya. Kebahagiaan Kureshan sebagai orang terpandang dilengkapi oleh istrinya yang masih muda dan ramah, Andalamma. Mereka sekeluarga hidup sejahtera dan bahagia. Keduanya terkenal sebagai suami istri yang amat sangat dermawan dan baik hati, serta pemuja yang saleh dari Tuhan Junjungan di Pura Utama kota suci tersebut, Sri Kanchi Varadarajan.
Semenjak awal hidupnya, Kureshan telah terkagum-kagum pada Ramanujacharya, yang pada saat itu juga sedang tinggal di Kanchi. Itu adalah masa-masa ketika secara perlahan Sri Ramanuja bertumbuh menjadi penggagas sebuah perguruan pemikiran baru. Beliau tengah menyebarkan pemikiran dan pandangannya yang baru, berbeda dengan monisme absolut Advaita yang berkembang luas di masyarakat masa itu. Sekumpulan murid-murid dan pengikut juga mulai tumbuh di sekitar Ramanuja. Kureshan tanpa membuang waktu segera menjadi murid Sri Ramanuja. Keduanya lalu menjadi akrab dengan mudah. Di bawah bimbingan Sri Ramanuja, Kureshan segera memulai pembelajaran mendalamnya atas pustaka suci Veda yang purba dan lebih mengkhususkan diri lagi dalam mempelajari Mimamsha-sutra. Hubungan persaudaraan yang kuat terbangun antara guru dan murid ini dalam bertahun-tahun kebersamaan mereka di Kanchi.
Pada usia paruh bayanya, Ramanuja kemudian menerima kehidupan pelepasan ikatan, Sannyasa, dan dipanggil oleh masyarakat Srivaishnava yang berada di Sri Rangam agar bisa membangun mereka menjadi satu kekuatan terpadu untuk melawan tekanan pemerintah daerah saat itu yang cenderung pada Saivisme. Demikianlah kemudian Sri Ramanuja dengan menuruti perintah para tetuanya di Srirangam seperti Mahapurna dan juga Kanchipurna yang berada di Kanchi, akhirnya memutuskan untuk pindah ke Srirangam. Beliau meninggalkan Kanchi demi kebaikan dan tidak pernah lagi kembali ke sana, kecuali untuk sekedar kunjungan singkat saja.
Kepindahan ini membuat seakan berakhirnya hubungan akrab antara Sri Ramanuja dengan Kureshan. Melihat bahwa gurunya kini telah berangkat ke Srirangam, Kureshan pun akhirnya meninggalkan kota Kanchi dan kembali ke dusunnya di Kura untuk hidup sebagaimana sebelumnya. Namun ternyata Tuhan Varadarajan dan Pendamping Rohani-Nya, Perundevi Thayyar, memiliki rencana lain untuknya.
Bersama kepergian gurunya, Sri Ramanuja, ke Srirangam, maka Kureshan dan Andalamma kembali ke kehidupan lamanya yang nyaman tanpa kejadian-kejadian berarti di Kura. Suatu sore, setelah menyelesaikan kebiasaan sehari-hari mereka memberikan derma makanan kepada orang-orang miskin, maka merekapun pergi beristirahat. Mereka menutup daun pintu perunggu yang besar di gerbang rumah.
Suara dentangan pintu perunggu yang besar ini begitu keras menembus keheningan malam sampai terdengar jauh di Kanchi. Tuhan Varadaraja dan Perundevi Thayyar juga merasa sedikit kaget mendengarnya. Thayyar bertanya kepada Tuhan Varadaraja dari mana asal suara berdentang itu. Tuhan lalu berbalik kepada Sri Kanchipurna, pendeta-Nya dan juga merupakan salah satu guru dari Sri Ramanuja. Kanchipurna menjawab, “Tuhan, itu adalah suara dari pintu gerbang Kureshan kita yang baru saja ditutup setelah seharian memberikan sedekah pada orang-orang.” Tuhan dan Perundevi-piratti sangat senang mengetahui kedermawanan dan kebaikan hati Kureshan. Mereka lalu memerintahkan agar Kureshan segera dibawa ke hadirat-Nya.
Seketika itu pula Kanchipurna segera berangkat menjemput Kureshan di rumahnya. Begitu sampai di Kura, dan mengetahui segalanya dari Kanchipurna, Kureshan merasa sangat menyesal, “Benarkah?! Suara dentangan pintuku sampai mengganggu istirahat Tuhan di Kanchi. Sungguh hamba adalah orang licik yang memamerkan kedermawanannya ke seluruh dunia! Betapa berdosanya diri hamba ini.”
Kejadian tersebut tampaknya mengguncang dan membangunkannya dari keadaan rohaninya yang tengah terlelap. Dia pun menyadari pilihan hidup yang terpampang di depan matanya namun tanpa disadari telah dihindarinya semenjak kepergian Sri Ramanuja. Dia dapat terus tinggal dan menjalani hidup penuh kedermawanan yang tidak terlalu bermakna atau dapat ikut bersama Sang Guru Ramanuja ke Srirangam dan melayani misi kehidupannya. Kureshan pun lalu segera membuat keputusan!
Kureshan mempersilakan Guru Kanchipurna kembali ke Kanchi. Dia kemudian menyuruh istrinya, Andalamma, untuk segera meninggalkan segala harta benda dan kekayaan mereka, lalu menyusul pindah ke Srirangam demi menempatkan diri mereka selamanya dalam pelayanan kepada Sang Acharya. Inilah titik balik terpenting dalam hidup Kureshan. Malam itu juga, suami istri berjalan keluar meninggalkan rumahnya yang nyaman, meninggalkan segalanya, hanya menyisakan pakaian yang melekat di badan mereka saja. Berdua mereka menembus kegelapan malam, berjalan kaki menuju Srirangam.
Sepanjang jalan, Kureshan dan Andalamma harus melalui hutan lebat. Andalamma tampak cemas akan ada perampok yang menghadang mereka saat malam begini dan mengancam hidup mereka dan dia tidak mampu menyembunyikan ketakutannya itu dari suaminya. Kureshan yang memperhatikan kekhawatiran istrinya lalu bertanya, “Andal, melihat engkau begitu cemas seperti ini sepertinya ada yang engkau sembunyikan dariku. Aku sudah menyuruhmu untuk meninggalkan segala harta benda kita semuanya di Kura, sungguhkah engkau benar-benar tak menyisakannya sedikitpun?” Akhirnya Andalamma mengaku, “Swamin, saya telah meninggalkan semuanya kecuali cangkir emas yang kecil ini. Saya menyembunyikannya di balik sari-ku. Saya pikir saya akan membutuhkannya selama perjalanan untuk wadah minuman jikalau sewaktu-waktu engkau merasa haus dan lelah.” Kureshan melihat cangkir emas yang dikeluarkan istrinya dari balik sari dan berkata dengan lembut, “Andal, saat aku ingin engkau meninggalkan semuanya, itu berarti segala-galanya termasuk benda ini juga!” Kureshan lalu mengambil cangkir itu dari tangan Andalamma dan melemparkannya ke semak-semak hutan yang gelap. “Itulah dia! Sudah kubuang penyebab semua rasa takut dan cemasmu itu!”
Kedatangan Kureshan dan Andalamma di Srirangam disambut dengan penuh kegembiraan oleh Sri Ramanujacharya. Beliau menerimanya seperti mereka adalah darah dagingnya sendiri. Mereka pun diberi tempat tinggal di ruangannya dan Acharya sendiri lalu segera memberi mereka peran dalam kehidupan masyarakat di Srirangam.
Kureshan memulai bab baru dalam kehidupannya di Srirangam sebagai salah satu murid terdekat Sri Ramanuja. Dia mendampingi Sri Ramanuja dalam segala urusannya demi penataan kuil Sri Ranganatha dan masyarakat Srivaishnava. Dia adalah tangan kanan Sri Ramanuja dalam pembelajaran sastra suci, perdebatan, dan penelaahan kitab-kitab suci. Dia selalu ada di belakang Sang Acharya dan selalu siap sedia. Dia mengurusi bahkan kebutuhan Gurunya yang paling remeh. Kureshan adalah mata dan telinganya, diri kedua dari Sang Acharya. Di mana ada Sri Ramanuja, di sana pasti ada Kureshan. Kureshan bagaikan bayangan Sang Acharya yang sungguh setia.
Langganan:
Postingan (Atom)