“Tuhan Yang Mahasempurna dari Sri Rangam telah menunjukkan jalan penyerahan diri (prapatthi) yang tak termusnahkan. Sang Jalan, bila dituruti, pastilah akan menyelamatkan. Bahkan bagi mereka yang tak memiliki pengabdian kepada Yang Mahamenakjubkan, Tuhan dari deva-deva alam surgawi, yang adalah awal dan akhir dan tiada batas-Nya. Dalam seluruh hidupku, hatiku hanya akan dipenuhi cinta bagi para penyembah yang mencintai Tuhan itu, dengan sedemikian dalamnya” (Kulasekhara Alvar)
Tidak ada ungkapan cinta kepada Tuhan yang lebih besar dari pengabdian kepada penyembah-Nya. Seorang Alvar yang bernama Kulasekhara menunjukkan kemuliaan pemujaan kepada para Vaishnava ini. Baik dalam puisi maupun teladan pribadinya Sang Alvar mengajarkan pelayanan kepada para Vaishnava.
Sri Kulasekhara lahir di bawah bintang Punarpusam thirunakshatram sebagai inkarnasi dari Kaustubha-mani, permata yang menghiasi leher Tuhan. Kulashekhara Alvar adalah seorang bangsawan yang suci dan merupakan permata mulia di antara para penguasa yang menurun dalam silsilah raja-raja Travancore. Pada jaman modern Travancore dikenal sebagai Trivandrum. Dia menjadi raja di daerah Chera-nadu (sekarang Kerala). Menurut tradisi, para raja Travancore bukanlah pemilik dari kerajaannya. Pemilik asli dari kerajaan itu adalah Sri Ananta Padmanabhasvami, Tuhan Garbhodakasayi Vishnu, pujaan utama seluruh negeri. Raja hanyalah bertindak sebagai bawahan dan menteri dari Tuhan Sendiri. Biasanya dua kali sehari, raja akan datang ke kuil dan melaporkan jalannya pemerintahan dan pengelolaan negara di hadapan Bhagavan Ananta Padmanabhasvami.
Kulasekhara adalah seorang Ramabhakta (penyembah Tuhan dalam Rupa-Nya sebagai Sri Ramacandra) yang melegenda. Dia sering terhanyut dalam samadhi saat membaca Srimad Ramayana. Terkadang dia dipenuhi semangat untuk melayani Sri Rama dalam peperangan di Lanka. Terkadang dia menangis pilu memikirkan perpisahan Dasaratha dengan Putranya itu. Hati Kulasekhara seakan menyatu dengan hati Tuhan Sri Rama pujaannya. Kebahagiaan Sri Rama adalah kebahagiaannya, kesedihan-Nya adalah duka bagi Kulasekhara.
Tuhan pujaannya terkasih adalah Sri Ramacandra, karena itu dia memilih pembacaan Srimad Ramayana setiap hari dalam ruang sidang kerajaan. Pada suatu saat sampailah pada uraian mengenai Tuhan Sri Rama dikeroyok oleh 14.000 pasukan raksasa. Begitu mendengar hal ini segera raja bangkit dari tahtanya dan dalam keadaan terhanyut oleh emosi rohani memerintahkan seluruh pasukannya bersiap membantu Sri Rama. Demi mengatasi tingkah laku raja yang mengejutkan ini, pujangga istana segera mempercepat uraian Srimad Ramayananya yang mengisahkan Sri Rama mengalahkan 14.000 raksasa itu dengan hanya seorang diri saja. Mendengar hal ini sukacita Kulasekhara sungguh tak dapat diungkapkan.
Pembacaan harian Srimad Ramayana tetap dilaksanakan. Kejadian-kejadian penting dalam kehidupan Sri Rama diperingati dengan perayaan besar. Pujangga kerajaan selalu berusaha menghindari membaca bagian Ramayana yang kemungkinan dapat membuat Kulasekhara terganggu perasaannya. Namun pada suatu hari, pujangga yang biasa membacakan Ramayana tidak dapat hadir dan mengutus putranya untuk menggantikan dirinya membaca Ramayana. Orang baru ini, yang belum memahami perasaan raja dan kebiasaannya, menguraikan kisah Ravana menculik Sita. Tiba-tiba raja menjadi marah dan memerintahkan seluruh pasukannya bersenjata lengkap untuk menyerang Lanka, kerajaan Ravana. Pada saat ini para menteri tidak sempat berbuat apa-apa, karena raja sudah terlanjur menggerakkan bala-tentaranya sampai bagian paling selatan benua India, siap menyeberangi lautan menuju Srilanka. Dalam keadaan tidak sadar seperti itu Kulasekhara masuk ke dalam laut, berjalan terus untuk menyeberang ke Lanka, sampai tenggelam sebatas leher. Akhirnya Tuhan Sri Ramacandra dan Sitadevi menampakkan Diri-Nya dan menghentikan Kulasekhara serta menenangkannya.
Raja Kulasekhara mengerti bahwa Srirangam merupakan akar dari semua Divyadesa dan tempat yang paling diidamkan oleh para Sri Vaishnava. Dia sungguh-sungguh merindukan kesempatan mengunjungi Srirangam dan melayani kaki padma Tuhan Sri Ranganatha beserta para penyembah-Nya. Raja berkali-kali mencoba meninggalkan istananya, tetapi dicegah oleh para menteri yang mencintainya. Mereka mengundang Vaishnava-sadhu (orang-orang suci) ke istana setiap kali raja hendak beranjak pergi, sehingga raja terpaksa harus kembali ke istana untuk melayani para Vaishnava ini.
Setelah kejadian tersebut para menteri berpikir-pikir, apakah kemungkinan penyebab tingkah laku raja yang aneh ini. Mereka menyimpulkan bahwa terjadi pasti juga karena pergaulan raja dengan para Vaishnava yang bebas keluar masuk istana. Para Vaishnava ini diijinkan memasuki bagian istana yang manapun juga. Lama-kelamaan para kerabat kerajaan juga merasa iri dengan kedekatan raja bersama para Vaishnava. Jadi para menteri berkomplot untuk melawan para Vaishnava ini. Perhiasan berharga yang dikenakan Arca pujaan sang raja dicuri. Para menteri kemudian menuduh bahwa ini merupakan perbuatan para Vaishnava karena hanya mereka yang bebas keluar masuk istana.
Namun raja Kulasekhara berkata, “Tidak, ini semua tidak mungkin! Seorang pencinta Tuhan tidaklah mungkin melakukan pencurian. Bahkan berpikir jahatpun mereka tidak akan bisa, bagaimana mungkin mereka bisa berbuat kriminal. Saya akan buktikan kata-kata saya ini. Masukkanlah seekor kobra berbisa ke dalam periuk. Saya juga akan memasukkan tangan saya ke dalamnya. Apabila kata-kata saya tidak benar, maka ular itu akan mematuk tangan saya.” Raja melakukan seperti apa yang diperintahkannya, namun tidak terjadi apa-apa. Kobra itu justru keluar dari periuk dan memayungi kepala raja Kulasekhara seperti naga. Para menteri menjadi malu. Mereka mengakui siasat mereka dan memohon pengampunan dari raja.
Setelah kejadian ini Kulasekhara merasa muak dengan kehidupan duniawi istana kerajaan-nya. Dia kemudian mendudukkan putranya di atas tahta dan pergi sebagai pertapa pengembara, menuju tempat kesayangannya sejak dahulu, yang selalu dirindukannya, Srirangam. Sebelum sampai ke Srirangam dia sempat mengunjungi berbagai Divyadesa. Dia melayani Tuhan Ranganatha sampai akhir hayatnya. Koridor besar yang mengelilingi Kuil Agung dibangun oleh Kulasekhara, sehingga sampai saat ini dikenal sebagai Kulasekhara-thiruchutru. Dalam keadaan samadhi dia mengucapkan syair-syair yang dipenuhi kerinduan akan Tuhan Sri Rama dan Krishna. Kumpulan puisi sucinya yang berbahasa Tamil diberi nama Perumal Thirumoli (Puisi Suci Sang Tuan), sebagian besar ditujukan kepada Sri Rama dan Sri Krishna. Baris-baris syairnya menggemakan nada kerinduan yang mengharukan hati, Perumal Thirumoli menyiratkan makna-makna yang membangkitkan kenangan indah di Sri Rangam.
“Kurindukan hari ketika aku bersua dengan Tuhanku dan kesukacitaan yang besar ketika memandang Permata Zamrud yang Gelap itu” “Kurindukan hari ketika aku dapat memandang Tuhan yang berwarna bagai zamrud dan menyembah-Nya dengan kepala tertunduk” “Kurindukan hari ketika hatiku leleh oleh penglihatan akan Wajah Suci Tuhanku yang gilang-gemilang di Sri Rangam”
Tempat suci yang juga menarik hati Kulasekhara Alvar adalah Thirumallai, Bukit Suci Venkata, tempat bertahtanya Tuhan Venkateshwara atau yang dikenal sebagai Sri Srinivasa Perumal atau Sri Balaji. Dalam Perumal Thirumoli, dia menyanyikan keinginannya untuk tinggal di Bukit Suci itu dengan bentuk apapun juga, sehingga dia dapat senantiasa dekat dengan Tuhan Venkateshwara. Alvar mengawali kidung sucinya dengan pengharapan untuk dapat lahir sebagai seekor burung Kurukai yang hidup dan berkicau di Bukit Suci. Namun kemudian dia berpikir bahwa bila menjadi seekor burung, bisa saja keinginannya melayani Tuhan akan meredup dan dengan sayapnya ia akan pergi meninggalkan Bukit Suci. Alvar kemudian memutuskan menjadi seekor ikan yang hidup di sungai yang mengaliri Bukit Suci. Tetapi bila air sungai mengering, maka ia takkan dapat hidup di sana selamanya. Pilihan berikutnya adalah dia berharap dapat menjadi hamba dekat Tuhan yang memegang mangkok emas tempat Tuhan meludah setelah berkumur. Di sini lagi-lagi dia berpikir, oleh karena suatu sebab bisa saja dia berbuat kesalahan dan akan diusir oleh para pengurus kuil meninggalkan Bukit Suci. Kulasekhara Alvar lalu berpikir bagaimana kalau dia menjadi sebatang pohon Shenbaga, yang biasanya bunganya digunakan untuk membuat kalungan bunga bagi Tuhan. Tetapi kembali dia cemas, jangan-jangan bila sudah tak berguna dia akan ditebang dan dibuang dari Thirumala. Kemudian dia memilih menjadi rimbunan semak yang sedari mula tidak berharga. Namun lagi dia takut kalau-kalau pengurus kuil ingin melakukan pembersihan daerah tempat dia tumbuh dan memangkasnya dari sana. Pilihan berikutnya adalah menjadi bebatuan di bukit itu. Tetapi dia takut karena bisa saja umat Buddha akan membuatnya menjadi sebuah Buddha-rupa dan memindahkannya dari sana. Lalu dia berpikir menjadi sebuah sungai, tetapi sungai bisa saja mengering. Menjadi jalan setapak yang menuju Kuil juga diinginkannya agar bisa mendapatkan debu-debu dari kaki para hamba Tuhan yang berziarah ke sana, tetapi selalu ada kemungkinan mereka akan melalui jalan lain. Berikutnya Alvar ingin lahir sebagai anak tangga yang menuju Ruang Mahasuci, ruangan terdalam tempat Tuhan bertahta, agar dia dapat memandang Wajah-Nya yang manis dan Senyum-Nya yang menawan. Akan tetapi bisa saja para pengurus kuil melapisinya dengan emas dan menghalangi pemandangannya. Pada akhirnya Alvar berseru, “Emperuman ponnamallai mel ethenum evene...!, Semoga aku terlahir menjadi apa saja di Bukit Suci Tuhan ini...!” Sepenuhnya menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan, biarlah Dia Sendiri yang mengatur akan dijadikan apa dirinya nanti. Walau demikian untuk mengenang doa Kulasekhara ke hadapan Tuhan Venkateshwara, maka anak tangga berlapis emas yang menuju Ruang Mahasuci diberi nama Kulasekhara-paadi, Anak Tangga Kulasekhara.
Seperti disebutkan sebelumnya Kulasekhara Alvar juga pergi berziarah ke berbagai Divyadesam seperti Thiruvenkatam, Thillai, Thiruchitra-kutam, Thirukannapuram, Thirumaliruncholai, Thiruvayodhi, Thiruvituvakottu dan mengidungkan kemuliaan berbagai Rupa Tuhan yang bersemayam di masing-masing tempat suci.
Seperti Rama, dia lahir dalam keluarga ksatriya, di bawah punarpusam thirunaksatram, Arcamurti kesayangannya adalah Sri Ranganatha, dan dia juga meninggalkan kemewahan hidup di istana untuk menjalani kehidupan sederhana para pertapa.
Seperti Lakshmana, dia hanyalah berkeinginan untuk melayani dan mengabdi kepada Tuhan. Seperti Bharata, sekalipun dia menjalankan pemerintahan, namun dia tetap menganggap dirinya tak lebih dari bawahan dan pelayan dari Paduka (Alas Kaki) Tuhan. Seperti Satrughna, dia memuliakan pelayanan kepada para Vaishnava bhagavata di atas segala-galanya. Srimad Ramayana adalah hidupnya.
Sri Rama disebut Perumal (Tuhan), Sri Ranganatha yang bahkan dipuja oleh Sri Rama Sendiri disebut Periya Perumal (Tuhan Yang Maha agung). Kuil Agung tempat bertahta-Nya Periya Perumal disebut Periya Kovil. Kulasekhara Alvar yang begitu mencintai semuanya ini dikenal sebagai Kulasekhara Perumal, dan karya agungnya sewajarnya dikenal sebagai Periya Thirumolli.
Wahai nuri hijau! Datanglah mendekat! Daku akan memberimu madu yang manis! Hendaklah engkau nyanyikan nama Kulasekhara yang telah menggubah syairnya yang manis bagi kemuliaan-kemuliaan Dia yang berbaring di Sri Rangam memandang ke arah Selatan, kecintaan para gadis gembala yang beralis cantik bagai lengkung busur, Tuhan Ranganatha Yang Mahasuci. Dialah raja Chera, prapanna yang agung, permata mutu manikam yang menghiasi mahkota kepala kita untuk selama-lamanya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar