Selasa, 30 November 2010
SRI MADHVA (4)
Selama beliau berada dalam badan, maka Sri Hari akan tetap berada di sana. Begitu beliau pergi, maka Sri Hari juga akan turut meninggalkan badan. Beliau adalah pengendali baik di dalam maupun di luar badan. Itulah Vayu, yang adalah pemimpin utama para guru dalam silsilah garis perguruan kita yang suci.
Ada sebuah pernyataan Sruti mengenai hal ini. "kasmin vahamutkranta utkramishyami, kasminvaham sthite sthasyami iti sa pranamasrujatra". Tuhan Yang Maha Esa Sri Hari menciptakan Vayu dengan menyatakan, “Aku akan menciptakan seorang penyembah-Ku sedemikian rupa, sehingga kehadirannya akan menjadi tanda kehadiran-Ku, dan kepergiannya juga akan membuat-Ku pergi.” Ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam kata-kata yang digunakan oleh Srimad Sripadaraja.
1. Pernyataan ini dibuat dengan ketegasan dan ketidakterbantahan. Tidak ada kata bila atau tapi (keraguan atau prekondisi) dan juga tidak ada ambiguitas (makna mendua). Tidak ada rujukan kepada deva yang lain. Hanya dinyatakan hubungan erat antara Vayu dan Sri Hari secara langsung dan nyata.
2. Pernyataaan saling berkaitan digunakan, yaitu kehadiran Vayu dengan kehadiran Sri Hari. Kehadiran Vayu menjadi pertanda kehadiran Sri Hari.
Memaknai pernyataan ini dengan melihat kenyataan yang ada pada badan jasmani, selain dapat diketahui secara langsung, tentu juga ada dasar sastranya. Kita mengetahui bahwa Sri Vayu dalam tubuh jasmani adalah Prana, napas kehidupan. Bila Prana ada di sana maka kita katakan bahwa tubuh itu hidup. Apakah arti dari tubuh yang hidup ini? Badan jasmani yang terbentuk dari unsur-unsur alam adalah mati, tetapi ketika jivatma, roh individual berada di sana maka dia hidup. Tetapi yang lebih penting lagi, kita mengetahui dari sastra suci bahwa jiva yang terbungkus oleh badan duniawi tidaklah berada sendirian di sana. Perluasan dari Sri Hari Sendiri mendampingi jiva sebagai Paramatma. Beliau hadir di sana dan tanda dari kehadiran Beliau adalah Prana, yang tiada lain adalah Sri Vayudeva.
Bila kita memperluas makna mengenai kehadiran ini dapatlah kita pahami sebagai berikut. Selama Vayu berada dalam hati kita, maka Sri Hari juga ada di sana. Kapanpun kita melupakan Vayu, maka Sri Hari juga meninggalkan kita. Apakah artinya Sri Vayu selalu ada di hati kita?
1. Senantiasa memusatkan hati pada Vayu, kemuliaan, dan keagungannya.
2. Yakin sepenuh hati dan jiwa bahwa Vayu secara nyata adalah Jivottama.
3. Mengikuti prinsip-prinsip rohani sebagaimana diajarkan oleh Vayu sendiri.
Secara khusus ini berarti kita hendaknya senantiasa menginsafi bahwa keagungan dan kemuliaan Sri Madhva merupakan pusat meditasi kita. Kita memahami bahwa beliau adalah Jivottama, pemimpin kita, yang menghubungkan kita semua dengan belas kasih Sri Hari. Kita juga menerima sepenuh hati kebenaran ajaran Madhva dan mengetahui bahwa tanpa menerimanya maka kita tak akan dapat mencapai Sri Hari. Sri Hari akan mengabaikan siapapun yang mengabaikan Sri Madhva, yang adalah Vayudeva sendiri. Sedangkan dalam arti luas, semuanya ini hendaknya kita pahami dan laksanakan dalam pelayanan kepada guru kerohanian kita secara pribadi, yang merupakan penerus dan wakil dari Sri Madhva.
Hubungan Vayu yang sangat erat dengan Sri Hari ditunjukkan oleh kenyataan yang ada dalam tubuh jasmani ini. Tetapi apakah hanya terbatas seperti itu saja? Srimad Sripadaraja segera mengingatkan kita pada pernyataan Sruti berikutnya. "pranasmetad vashe sarvam pranah paravashe sthitah na parah kinchidashritya vartate paramoyatah." Segala sesuatu di alam semesta ini berada di bawah kendali Prana. Prana berada di bawah kendali Sri Hari. Sri Hari tidak dikendalikan oleh siapapun. Dinyatakan bahwa tubuh jasmani, pindanda (mikrokosmos) adalah merupakan miniatur dari tubuh alam semesta, brahmanda (makrokosmos). Sehingga para deva yang mengendalikan berbagai organ dan bagian tubuh juga mengendalikan berbagai bagian alam semesta. Sebagaimana mereka semua berada di bawah pengendalian Vayu, maka baik dalam pindanda maupun brahmanda, keadaan inilah yang terjadi.
Ketika para deva yang mengendalikan indria maupun organ-organ meninggalkan tubuh seseorang, maka orang tersebut dikatakan buta, tuli, atau bisu (organ tertentu itu menjadi cacat, sesuai dengan deva yang pergi meninggalkannya). Namun ketika Mukhyaprana meninggalkan badan, maka orang bijaksana menyebut badan itu sesosok jenazah.
Dalam sloka ini kembali Srimad Sripadaraja membawa kita memperhatikan pernyataan Aitareya Upanisad. "ta ahimsan ta ha muktha masmaihamukthamasmiti ta abruvan hantasmachcharira dutkramama tadyasmin na utkanta idam shariram patsyati taduk-tham bhavishyatiti vagudakramad avadannashnan piban nastaiva chakshurudakramad apashyan-nashnan pibannastaiva." Pada suatu ketika para deva bertikai di antara mereka untuk menentukan siapakah yang paling agung. Mereka memutuskan bahwa cara yang terbaik adalah dengan memasuki sesosok badan dan mengamati pengaruh mereka padanya. Para deva mulai memasuki tubuh yang mati itu satu per satu. Tak satupun di antaranya yang dapat memberikan pengaruh, tubuh itu tetap seperti adanya. Begitu Vayu memasukinya, tubuh itu menggeliat hidup. Kemudian sebaliknya, para deva meninggalkan tubuh itu satu per satu. Setiap organ yang mereka kuasai menjadi cacat, walau demikian tubuh itu tetap hidup. Tetapi begitu Vayu pergi, tubuh itu mati. Ini menyimpulkan ketergantungan penuh jiva kepada Vayu, sekaligus superioritasnya di antara para deva yang lain, sehingga membuat gelar Jivottama tepat sesuai baginya. "prana udakramat tatprana utkrante apadyata tad ashiryata ashariti tachchariramabhavat". Ketika Prana meninggalkan badan, maka badan menjadi roboh dan mulai membusuk. Demikianlah sabda Aitareya Upanisad.
Kita dapat mengamati ini semua dalam keseharian kita. Selama orang itu bernapas, dia dianggap hidup. Dia mati bila berhenti bernapas. Apabila di sekitar orang itu ada dokter, maka dia akan berusaha membantu orang itu untuk bernapas kembali dengan berbagai cara seperti resusitasi jantung paru atau memasang alat bantu napas. Dikatakan bahwa apabila seseorang mati, maka amsha dari para deva yang bersemayam di organ-organ tertentu kembali menyatu dengan deva-deva kosmis yang asli. Tetapi tidak demikian dengan Vayu. Beliau membawa Paramatma dan jiva di atas pundaknya untuk menuju badan berikutnya. Bila pernyataan sloka ini dihubungkan dengan sloka sebelumnya, maka akan tampak betapa eratnya hubungan antara jiva, Vayu, dan Sri Hari, betapa besar perhatian Sri Hari kepada Vayu, dan betapa mulia kedudukannya di antara deva-deva lain. Makna simbolik dari sloka ini juga menunjukkan bahwa demi bangkitnya “tubuh” spiritual, kehadiran Vayu sangatlah penting. Dengan kata lain, segala jenis pemujaan yang tidak memberikan tempat mulia bagi Sri Vayu dan juga prinsip-prinsip yang diajarkan oleh beliau hanyalah akan menjadi sia-sia belaka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar