Kamis, 23 September 2010

ORANG SUCI YANG TIADA BANDINGANNYA DARI MANTRALAYA

Sri Gururaja Raghavendra Svami

Seorang karmaja devata yang membantu Deva Brahma dalam pemujaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa bernama Sankukarna, turun ke dunia untuk melayani Tuhan Sri Mahavishnu dalam rupa Beliau sebagai Nrisimhadeva. Itulah penyembah agung Prahlada, yang demi dirinya Tuhan muncul dari sebuah pilar yang terbelah. Pada saat Tuhan turun sebagai Sri Krishna, Prahlada juga lahir kembali untuk melayani sebagai raja Bahlika. Raja Bahlika mengetahui bahwa Pandava Bhimasena memiliki cinta dan pengabdian yang begitu dalam kepada Tuhan Sri Krishna. Bhima bersedia dan mampu melakukan pekerjaan yang paling berat sekalipun demi kepuasan Sri Krishna, karena itu beliau juga dikenal sebagai Vrikodhara. Bahlika menginginkan agar Bhimalah yang akan mengakhiri kehidupannya saat ini, agar kelak dia dapat turun kembali sebagai hamba dari Bhimasena, kapanpun beliau akan turun lagi ke bumi ini. Setelah diperintahkan oleh Krishna, Bhima bersedia mengakhiri hidup Bahlikaraja dengan hantaman gada ringan di badannya. Maka Bahlika meninggalkan badannya sambil memandang Tuhan Sri Krishna dan tuannya yaitu Bhimasena, dengan hati penuh cinta dan pengabdian.

Pada jaman Kali, demi menegakkan dharma sejati, Bhimasena turun kembali ke bumi atas perintah Tuhan Sri Krishna sebagai Srimad Madhvacharya Bhagavatapada. Bahlikaraja sesuai dengan permohonannya dalam kehidupan terdahulu turun pula sebagai Sri Vyasa Tirtha atau Sripada Vyasaraja. Beliau membawa kemuliaan ajaran Srimadacharya Madhva tersebar ke mana-mana. Beliau juga menjadi guru kerohanian dari Maharaja Krishnadevaraya, penguasa Vijayanagara, kerajaan Hindu terbesar di abad pertengahan yang melindungi peradaban Veda selama beberapa abad. Guru Vyasaraja kemudian diyakini turun kembali sebagai Sripada Raghavendra Tirtha Svami.

Keruntuhan kerajaan Vijayanagara membawa dampak yang sangat besar bagi para sarjana Veda yang tergantung pada perlindungan para bangsawan. Mereka kemudian berpindah ke India Selatan bersama sanak keluarganya, dan mendapatkan perlindungan dari para raja dan panglima-panglima di India Selatan. Salah satu dari mereka adalah Thimanna Bhatta yang menurun dalam garis silsilah garis keluarga Maharishi Gautama dan menikahi Gopikamba yang juga berasal dari keluarga brahmana. Pada awalnya pasangan suami istri ini hanya memiliki dua putra, Gururaja dan Venkatamba. Kemudian pada tahun 1595, atas kemurahan hati Tuhan Sri Venkateshwara Svami yang dipuja di Thirupathi, seorang putra lahir lagi. Mereka memberinya nama Venkatanatha, seperti nama Tuhan yang bertahta di Thirupathi. Venkatanatha inilah yang kelak menjadi Guru Raghavendra atau Sri Rayaru.

Ilustrasi beberapa kejadian dalam hidup Sri Rayaru

Venkatanatha menikah dengan Sarasvati yang segera menjadi pasangan suami istri brahmana yang amat saleh. Venkatanatha termashyur akan kesarjanaan, kepandaian, dan kekuatan keberhasilan mantranya. Mereka hidup berbahagia sekalipun penuh kemiskinan.

Sripada Sudhindra Tirtha Svami, penerus silsilah rohani dari Sripada Vyasaraja, memahami potensi rohani dan keagungan Venkatanatha. Beliau mendekati dan menjadikannya murid, yang juga menjadi kesayangannya. Sripada Sudhindra Tirtha menginginkan Venkatanatha meninggalkan hidup berkeluarga, menempuh jalan pelepasan ikatan, mengabdi sepenuhnya kepada ajaran suci Srimadacharya (Madhvacharya) dan silsilah rohaninya. Venkatanatha menjadi ragu antara rasa hormat dan patuhnya terhadap guru dengan peranannya sebagai seorang kepala rumah tangga yang harus menghidupi istri dan anak. Di tengah kebimbangannya Devi Ilmu Pengetahuan, Ibu Vidya Sarasvati, menampakkan diri dan memerintahkannya segera menempuh kehidupan membiara sebagai seorang pertapa sannyasi dan memberkati dunia dengan ajaran agung Srimadacharya serta melanjutkan garis silsilah rohaninya. Ibu Vidya Sarasvati bersabda,

“Setelah merasakan nikmatnya berpesta dengan karya-karya suci penuh kesarjanaan dari Srimadacharya Madhva, Sri Jaya Tirtha, Sri Vyasa Tirtha, Sri Vadiraja, dan yang lainnya, sekarang aku kelaparan lagi. Cahaya gemilang kebenaran Tattvavada yang telah dipancarkan oleh Srimadacharyamu terkasih akan dipadamkan oleh kegelapan ajaran-ajaran lain. Untuk mencegah terjadinya hal ini, jiwa mulia seperti dirimu haruslah melepaskan ikatan duniawi dan mempersembahkan hidupmu kepada Hari (Tuhan) dan Vayu (Deva Angin, pelindung ajaran suci). Inilah tugas dan takdirmu. Engkau adalah roh yang agung, ditakdirkan untuk memberikan penghiburan dan keselamatan bagi berjuta-juta orang yang membutuhkan. Terimalah permintaan Sudhindra Tirtha dan jadilah sannyasi. Engkau adalah kekasih Tuhan Yang Maha Esa Sri Hari dan inilah yang Dia inginkan darimu.”

"Engkau adalah kekasih Tuhan Yang Maha Esa Sri Hari"

Akirnya pada tahun 1621 setelah minta diri dari istrinya tercinta, Venkatanatha menghadap Sripada Sudhindra Tirtha di biaranya, memohon pentahbisan memasuki hidup kerahiban. Pada hari ketika Venkatanatha akan mendapatkan diksa sannyasi, inisiasi hidup kerahibannya, Sarasvati, istrinya merasa sangat sedih dan memutuskan untuk menemui suaminya untuk terakhir kali sebelum dirinya samasekali tidak boleh lagi berhubungan dengannya. Sarasvati berlari dari rumahnya menembus hujan badai. Di tengah perjalanan dia tidak melihat ada sebuah sumur tua dan terjatuh ke dalamnya. Kecelakaan ini menyebabkannya mati sebelum waktunya sehingga akhirnya Sarasvati menjadi hantu. Tetapi bahkan dalam bentuk hantu keinginannya adalah tetap untuk dapat melihat wajah suaminya untuk terakhir kali. Begitu hantu Sarasvati tiba di biara, Venkatanatha telah selesai ditahbiskan ke dalam hidup kerahiban. Dia telah mengenakan busana sannyasi dan memiliki ashramanama Sripada Raghavendra Tirtha Svami. Sesuai perintah Devi Vidya Sarasvati dan Tuhan Sendiri, beliau menyediakan dirinya menjadi satu-satunya tempat perlindungan dan penghiburan bagi mereka yang bersusah hati, peristirahatan terakhir bagi mereka yang tak punya harapan lagi, satu-satunya ruang sidang yang menjamin bersedia mendengarkan segala pengaduan dengan kesabaran dan pengertian, samudera belas kasih yang tak akan menolak ratapan meminta tolong dari siapapun juga.

Dengan kekuatan spiritualnya, Sripada Raghavendra Tirtha Svami yang juga dikenal sebagai Sri Rayaru, merasakan kehadiran Sarasvati, mantan istrinya, walaupun sebagai hantu tak dapat dilihat oleh orang lain. Dengan penuh belas kasih Sri Rayaru kemudian memercikkan air dari kamandala (tempat air suci)nya ke arah Sarasvati dan membebaskannya segera dari tubuh hantunya, bahkan segera mencapai moksha, pembebasan dari perputaran kelahiran dan kematian.

Pada tahun 1623 Sudhindra Tirtha kembali ke dunia rohani dan Sri Rayaru diangkat menduduki tahta suci Vyasaraja Math, menggantikan gurunya meneruskan silsilah rohani Srimadacharya. Sri Rayaru memulai pengabdiannya dengan mengajarkan dan mengulas karya-karya agung para Acharya pendahulu. Kemudian beliau mengadakan perjalanan ziarah berkeliling negeri. Selama perjalanan ziarahnya ini Sri Rayaru melakukan berbagai mukjizat dan keajaiban seperti menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan orang mati.

Pada saat mendekati akhir kehidupannya di dunia tiga orang ahli nujum yang paling ahli dan terkenal sangat tepat meramalkan usia kehidupan Sri Rayaru. Ketiganya mendapatkan waktu yang berbeda-beda, 100-300-700! Ketiganya sangat yakin akan ketepatan perhitungan ini. Ketika Sri Rayaru diberitahu mengenai hal ini beliau tersenyum dan mengatakan bahwa semuanya benar. “Mereka meramalkan tiga jenis kehidupanku. Satu meramalkan lamanya aku hadir dalam tubuh ini, yang kedua meramalkan kehadiran fisikku dalam stupa brindavana-samadhi, dan yang ketiga adalah pengaruh dari granthaku, ajaran-ajaran suciku!”

Suatu ketika Sri Rayaru mengutarakan maksudnya untuk memasuki makam stupa brindavana-samadhi hidup-hidup. Para pengikutnya terkejut dan sedih, tetapi beliau mengatakan inilah kehendak Tuhan agar beliau dapat membantu semua orang yang membutuhkan. Ketika semua bertanya kapan ini akan terjadi, Sri Rayaru mengatakan waktunya akan segera diungkapkan. Setelah ketidakhadiran fisiknya, maka Sri Rayaru akan tetap hadir di dunia selama 1000 tahun dalam tubuh kesempurnaan yang tak lapuk oleh waktu dan akan terus-menerus membantu siapapun yang berdoa kepada beliau.

Pada saat Sri Rayaru bersama murid-murid tengah mendiskusikan kitab suci, tiba-tiba Sri Rayaru berdiri dan mencakupkan tangan dengan hormat. Tak seberapa lama seuntai kalungan bunga dan daun tulasi tampak melingkari lehernya. Ketika para murid bertanya apa yang sedang terjadi, Sri Rayaru menjawab, “Tadi aku baru saja melihat Krishna Dvaipayana, Maharishi Vyasa yang agung mengendarai kereta menuju Kediaman Tertinggi Tuhan. Aku bertanya kapan giliranku akan tiba dan beliau menegakkan jari tengah dan telunjuknya tiga kali, 2-2-2. Aku memiliki waktu 2 tahun, 2 bulan, dan 2 hari lagi sebelum memasuki samadhi-brindavana.” Menurut perhitungan itu adalah Virodhikruth Samvatsara, Shravana krishnapaksa dvitiya (hari kedua paruh bulan gelap tahun Hindu Virodhikruth).

Sri Rayaru memilih desa Manchale sebagai tempat makamnya. Di tempat inilah Rayaru dalam penjelmaannya dahulu sebagai Prahlada melaksanakan pertapaan dan yajna. Beliau juga menunjuk sebongkah batu hitam yang dipilihnya sebagai bahan untuk membangun makamnya. “Ketika dahulu Tuhan Sri Rama mencari Sita, Beliau datang ke tempat ini dan beristirahat sejenak. Inilah dahulu batu tempat Beliau bersandar. Karena ini telah disucikan oleh sentuhan Tuhan, hanya inilah yang kuinginkan untuk membangun makam brindavanaku.”

Pada saat yang telah ditentukan, Sri Rayaru melaksanakan tugas pemujaannya sehari-hari, kemudian membagikan tirtha, prasada, dan mantrakshata kepada semua yang hadir. Beliau lalu menyampaikan ajaran-ajarannya yang terakhir. Jari-jemarinya memutar untaian japamala, mengucapkan nama suci Tuhan. Di hadapannya semua sastra suci ditempatkan. Beliau lalu mengambil vina dan memetik senarnya. Beliau menyanyikan lagu pujian yang terkenal INDU ENEGE GOVINDA dan mengakhirinya dengan "Dheera Venugopaala Bhaara Kaaniso Hariye". Arca Tuhan Sri Bala Gopala (Kanak-kanak Krishna), dengan ajaib menari mengikuti alunan musik dan lagu penyembahnya ini. Perlahan-lahan beliau memasuki keadaan samadhi yang khusuk sambil mengucapkan aksara suci OM. Gerakannya terhenti, napasnya juga terhenti. Tubuhnya bercahaya gilang-gemilang, wajahnya penuh kedamaian. Murid-murid segera memulai menyusun batu-batu di sekitar tubuh sucinya, membentuk makam samadhi-brindavan bagi Sri Rayaru.

makam/stupa Brindavana Sri Gururaja di Mantralaya

Appanacharya adalah murid kesayangan Sri Rayaru. Pada hari ketika Sri Rayaru memasuki brindavana-samadhi, beliau tengah berada di seberang sungai Tungabhadra yang lain karena dia melupakan gurunya akan memasuki samadhi hari itu. Begitu ingat, dia segera berlari ke arah Manchale. Sambil berlari dia menggubah Sri Raghavendra Stotra yang termashyur itu. Kekuatan kerinduan dan bhaktinya pada Sri Rayaru begitu besar sehingga aliran sungai Tungabhadra yang sedang banjir saat itu terbelah, memberi jalan kepada Appanacharya. Sayang, sekalipun demikian dia terlambat tiba di tempat itu. Bongkah batu terakhir telah ditempatkan menutupi Acharyanya. Dalam kesedihan Appanacharya tak mampu melanjutkan Stotra bait terakhirnya, “kirtir divijita vibhutiratula.....” Tiba-tiba terdengar suara bergema dari dalam makam samadhi, “sakshi haya syo’tra hi” (Tuhan Hayagriva, Asal Muasal Segala Ilmu akan menjadi saksi segala pernyataan Appanacharya dalam stotranya dan membuat segalanya menjadi kenyataan). Hingga saat ini, siapapun yang mengucapkan Sri Raghavendra Stotra dengan keyakinan dan bhakti akan mendapat karunia Sri Rayaru.

OM SRI RAGHAVENDRAYA NAMAH