Selasa, 04 Januari 2011

Hanumanta Mahima - SRI MADHVA (7)

Menghadap matahari, beliau melangkah mundur dan mempelajari semua sastra. Bergerak dari bukit terbit hingga bukit tenggelamnya. Adakah yang dapat dibandingkan dengan dirinya?

Hanumanta Svami mendekati matahari dan mendapatkan pelajaran tatabahasa, logika, dan semua sastra dari Surya devata. Surya mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menghentikan peredarannya untuk mengajar, sehingga Surya bersedia mengajar Hanuman hanya apabila beliau bisa selalu berada di depannya. Sri Hanumanta setuju, setiap pagi beliau mendaki puncak bukit tempat matahari tampak mulai terbit dan melompat dari sana menuju Suryamandala. Dari sana beliau mengikuti Surya dengan berjalan mundur, sehingga tetap menghadap Surya dan mendengarkan pelajaran darinya. Ketika sore hari, saat matahari tampak terbenam di bumi, Hanuman turun di perbukitan yang sama.

Apabila kita memperhatikan sastra bukankah Surya hanyalah jiva sedangkan Sri Hanuman adalah Jivottama? Bagaimana mungkin Surya dapat mengajar beliau? Srimadacharya juga mengatakan bahwa tidak mungkin Sri Hanuman memuja atau berguru selain dengan Sri Hari. Apakah makna dari sloka ini?

Pertama dapat dipahami bahwa sesungguhnya Sri Hanumanta Prabhu mempelajari semua sastra itu dari Sri Hari Sendiri yang bersemayam dalam Suryamandala sebagai Antaryami. “dhyeassada savitru mandala madhyavarti narayanah sarasijasana sannivishtah keyuravan makarakundalavan kiriti hari hiranmayavapurdruta shanka chakrah” Narayana duduk di atas sebuah tahta teratai (sarasijasana atau padmasana) di tengah-tengah bulatan matahari Sri Suryamandala, mengenakan berbagai perhiasan dan busana indah, memegang sankha dan chakra. Inilah Rupa Sri Narayana yang harus menjadi tujuan pemusatan pikiran semua orang. Surya di sini bukanlah deva penguasa matahari yang bersifat duniawi, salah satu penguasa benda angkasa, tetapi adalah Antaryami, Sri Suryanarayana-deva.

Dalam penjelasannya atas Gayatri-mantra Srimad Pejawar Swamiji Sri Sri Visveshwara Tirtha Sripadangalavaru menyatakan bahwa kata dhimahi dalam sloka pembukaan Bhagavata juga ditemukan dalam Gayatri (Brahma-gayatri) sebagai bhargo-devasya dhimahi. Kita setiap hari berdoa kepada Tuhan dengan mantra suci ini, bhargo-devasya dhimahi. Karena makna dari Gayatri dijelaskan dalam keseluruhan Bhagavata, maka pada sloka pembukaan, Sri Vedavyasa menggunakan kata dhimahi untuk mencirikan keseluruhan maksud Bhagavata. Beberapa orang mengatakan bahwa Gayatri adalah untuk memuja deva matahari. Sedangkan yang lain mengatakan bahwa itu adalah untuk memuja Devi Parashakti yang juga disebut Gayatri-devi. Namun sesungguhnya Gayatri Mantra bukanlah sekedar menggambarkan deva matahari atau Gayatri-devi saja. Mantra ini menguraikan kemuliaan Tuhan Tertinggi Sri Narayana yang bertahta dalam Suryamandala sebagai Antaryami, Roh Kehidupan Alam Semesta. Surya mandala adalah sumber cahaya bagi yang lainnya. Surya memberikan kehidupan kepada segalanya dan menjadi sumber tenaga penggerak seluruh dunia. Tetapi Tuhan Sriman Narayana, Sri Hari, adalah Antaryami yang menjadi sumber kekuatan dan cahaya Surya. Sehingga kita haruslah berdoa kepada Sriman Narayana yang adalah sumber dan Tuhan bagi Surya, dengan Gayatri Mantra. Setiap hari dengan tangan terkatup dan kepala menunduk, kita memohon kepada-Nya bukanlah untuk kesejahteraan duniawi, tetapi kita mengucapkan Gayatri Mantra dengan memvisualisasikan Sri Narayana, Tuhan di atas segala deva, yang bersemayam dalam Surya mandala. “Bhagavan, berkatilah kami dengan cahaya pengetahuan dan kebijaksanaan serta pengabdian cintakasih yang kekal kepada-Mu.” Inilah yang dicontohkan dan diajarkan oleh Sri Hanumanta Svami.

Kedua, Hanuman adalah Purnaprajna, yang memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan sempurna. Dikatakan bahwa Vayu dan Brahma dapat mengetahui segala sesuatu dengan sempurna hanya dengan berpikir mengenai orang atau objek tertentu itu, karena Sri Hari yang bersemayam di dalam hatinya segera memberikan pengetahuan apapun yang dibutuhkan. Sehingga baik Vayu maupun Brahma tidak perlu bertanya kepada siapapun selain Sri Hari secara langsung. Sehingga tidak ada persoalan tentang Hanuman mempelajari tata bahasa atau logika yang bersifat duniawi. Semua ini hanyalah permainannya, untuk memberikan teladan kepada semua orang, bahwa seberapapun agung dan mulianya, dia harus belajar dari seorang guru. Inilah mengapa Rama belajar pada Vasishta, Vishwamitra, dan Agastya, atau Krishna belajar pada Sandipani, atau Bhima belajar kepada Dronacharya. Ketika Dvaparayuga, Bhima mempelajari Vedasastra dari Sri Vyasadeva, kemudian ketika Sri Krishna menyabdakan Bhagavad-gita, Bhima sesungguhnya juga turut mendengarkan. Beliau berada di dalam pasukan dan juga sebagai Hanuman yang duduk pada bendera kereta perang Arjuna.

Dalam Gitabhasya, Srimadacharya mengatakan bahwa gurunya adalah Sriman Narayana Sendiri. “devam narayanam natva sarva dosha vivarjitam paripurnam gurunschan gitartham vakshyami lesatah.” Su-madhva-vijaya mengisahkan bahwa ketika Srimadacharya masih anak-anak beliau ditegur oleh guru sekolahnya karena dikira tidak mendengarkan pelajaran. Srimadacharya kemudian mengulang pelajaran yang tengah diberikan oleh gurunya dengan tepat, bahkan beliau juga mengulang pelajaran yang telah lalu dan pelajaran yang akan diberikan berikutnya. Ketika Srila Achyutapreksacharya menguraikan Bhagavata, Srimadacharya menunjukkan kepada semua, edisi atau versi Bhagavata mana yang paling tepat. Ketika ditanya mengenai hal ini, beliau hanya berkata bahwa semuanya sudah diketahuinya dari kehidupan yang lalu. Bukankah beliau adalah Sri Vayu yang mengetahui semuanya ini dan juga turut dikisahkan dalam Bhagavata? Dengan demikian Srimadacharya menyatakan sejelas-jelasnya bahwa pengetahuan didapatnya langsung dari Tuhan Narayana dan Avatara-Nya yaitu Sri Vedavyasa.

Srimad Sripadaraja kemudian menggunakan kalimat parama pavamana. Parama berarti yang tertinggi, menunjukkan beliau sebagai Jivottama dan Pavamana berarti murni, bebas dari segala kekurangan dan cacat. Dengan menyatakan kalimat ini di akhir sloka, Srimad Sripadaraja mengingatkan kita tentang siapa yang tengah kita bicarakan ini. Beliau berkata, “Kalian sudah mendengar bagaimana Sri Hanuman belajar dari matahari, tetapi ingatlah siapa sesungguhnya beliau. Janganlah berpikir salah, bahwa beliau perlu belajar sesuatu karena ketidaktahuannya. Ini hanyalah salah satu cara beliau menunjukkan keagungannya.” Bahkan dalam tindakan seperti ini pun, yang tampak merendahkan dirinya di hadapan seseorang, sebagai murid yang tengah belajar dari gurunya, Vayu menunjukkan keluarbiasaannya. Beliau mampu mengatasi hukum alam, yang mengharuskan matahari harus terus beredar, untuk tetap berada di depan menghadap gurunya. Beliau memusatkan pikiran sepanjang hari pada pelajaran, tanpa makan, minum, maupun kebutuhan alamiah lainnya. Sehingga Srimad Sripadaraja berseru gembira, “Adakah kalian temukan yang dapat menyamainya?” Kata yang digunakan adalah etagupameyunte (itage-upame-unte). Upame berarti contoh atau teladan, sehingga kita dapat memaknai perkataan Srimad Sripadaraja ini sebagai, “Adakah orang lain yang dapat memberikan teladan seperti dirinya?” atau dengan kata lain tidak ada guru atau Acharya yang seperti dirinya.

Sabtu, 01 Januari 2011

Hanumanta Mahima SRI MADHVA (6)

Ketika Tretayuga, demi melayani Sri Raghupati, Putra Vayu menjadi Sri Hanumanta. Karena rasa penasaran kekanak-kanakannya, beliau melompat ke arah matahari. Siapakah yang dapat menandinginya di ketiga dunia ini?

Selanjutnya akan dijelaskan Hanumanta-tattva, kebenaran sejati mengenai Avatara Sri Vayu sebagai Hanumanta. Srimadacharya berkata, "nishevanayorugunasya sa devatana prathamo gunadhiko babhuva namna hanuman prabhan janah" (MBTN 3.67). Untuk melayani Tuhan Yang Maha Esa Sri Hari, yang penuh sempurna dengan segala kemuliaan, Sri Vayu, yang paling utama di antara para deva dan memiliki sifat-sifat suci melebihi semuanya, lahir sebagai seorang bangsa kera bernama Hanuman. Begitu pula para deva yang lain, turun ke dunia sebagai kera adalah untuk mendapat kesempatan melayani Tuhan, bukan karena Sri Raghupati Sendiri membutuhkan bantuan. Bukankah pada Avatara Sri Hari sebelumnya, kesempatan ini tidak diberikan kepada mereka?


Ada satu hal yang menarik di sini yaitu penggunaan nama Hanumanta untuk menyatakan Avatara Vayu yang khusus ini, bukan nama beliau yang lain seperti Anjaneya, Maruti, Vayu-putra, dan sebagainya. Lihatlah pada Vayustuti, bukankah Trivikrama Panditacharya berseru pertama kali pada Avatara pertama Sri Vayu ini dengan, vandeham tam hanumaniti... Beliau melakukannya, sebagaimana juga diikuti oleh Srimad Sripadaraja, karena makna dari kata hanu dalam nama Sri Hanumanta. "hanashabdo jnana vachi hanuman matishabditah" (Bhavavrutta). Kata hanu ini berarti jnana atau pengetahuan, sehingga dengan demikian Hanuman berarti orang yang berpengetahuan atau orang yang cerdas. Pernyataan seperti ini telah digunakan oleh Srimadacharya dalam beberapa Bhasyanya. Pada stotra pujian Hanuman yang dimulai dengan manojavam..., Sri Hanumanta dinyatakan sebagai buddhimatam varishtam, yang terbaik atau yang tertinggi di antara semua makhluk yang cerdas.

Ketika masih kecil Sri Hanumanta Prabhu dikisahkan melompat ke arah matahari karena menyangkanya buah matang yang menggiurkan. Bagaimana mungkin Sri Hanuman yang merupakan Vayu Avatara, guru seluruh dunia, melakukan hal kekanak-kanakan yang bodoh seperti ini. Apakah beliau tidak mengetahui matahari sebelumnya?
Kita hendaknya melihat dari dua sisi, karena dikatakan bahwa kapanpun Sri Bhagavan atau penyembah-Nya turun ke dunia, begitu banyak pelajaran dan maksud yang dipenuhi hanya melalui satu tindakan saja.

Sisi pertama adalah dari pandangan tattva. Secara tattva kita bukannya memandang kebodohannya yang kekanak-kanakan, namun tindakan luar biasa apa yang terjadi setelahnya. Menyangka matahari sebagai buah matang hanyalah menjadi pemicu untuk Sri Hanumanta memperlihatkan kekuatannya yang luar biasa, bahkan sebagai seorang anak kecil sekalipun. Walaupun matahari begitu terang dan panas, namun Sri Hanumanta tidak terpengaruh sama sekali olehnya. Ini hanyalah permainan sukacita untuk menambah kemuliaannya, agar para penyembah di ketiga dunia dapat turut bersukacita dengan mengenang tindakan agung hamba Tuhan yang mulia ini. Kita hanyalah memusatkan perhatian kepada kejayaan Sri Vayu saja.

Sisi kedua adalah dari pandangan yang bersifat asurika. Para Asura atau orang-orang jahat ditipu oleh sesuatu yang tampak sebagai kelemahan pada Sri Hanuman. Mereka sibuk tertawa melihat kebodohan beliau sehingga lupa memperhitungkan kekuatan Sri Hanuman yang sebenarnya. Namun begitu para Asura dikalahkan maka kekalahan itu akan tampak berlipat-lipat. Betapa memalukan ditaklukkan oleh orang yang kita remehkan. Begitu pula yang terjadi pada Avatara Vayu lainnya. Contohnya Sri Bhimasena, kebanyakan mengetahuinya hanyalah sebagai orang rakus yang kerjanya hanya makan dan tidak dapat berkata-kata dengan sopan. Bhima sepertinya tidak terlalu terkendali seperti Dharmaraja dan juga tidak melakukan sadhana atau pertapaan yang keras seperti Arjuna. Tetapi dalam suatu kesempatan beliau membuktikan bahwa Tuhan Sri Krishna mungkin bisa menunda atau datang terlambat ketika penyembah lain, bahkan ketika Pandava lain memanggil-Nya. Walau demikian pada saat Bhima memanggil-Nya, bahkan tanpa menyebut nama-Nya sama sekali, Krishna harus segera datang ke tempat itu, seketika itu juga. Tahukah anda bagaimana cara Bhima memanggil Sri Krishna? Dia tidak perlu berdoa seperti Dharmaraja atau Arjuna atau Draupadi. Bhima hanya melemparkan gadanya... ke atas kepalanya sendiri. Tanpa ditunda Tuhan Sri Krishna segera datang untuk menangkap gada itu. Siapakah yang memiliki keyakinan dan keberanian seperti Bhima? Orang-orang yang meremehkan Bhima akan sangat terpukul melihat bagaimana sesungguhnya beliau lebih agung dan mulia dari mereka. Bagaimana Tuhan Sri Krishna mementingkan Bhima melebihi diri mereka sendiri.

Demikian pula dengan Srimadacharya Madhva. Dari segi fisiknya yang besar dan gemuk, beliau tidak tampak sebagai seorang pertapa sannyasi yang baik. Salah satu yang meremehkan kemampuan Srimadacharya adalah seorang Mayavada-yati bernama Pundarika Puri. Pundarika menertawakan Srimadacharya ketika beliau mengajarkan tata bahasa kepada murid-murid pemula di Udupi. Pundarika sebenarnya datang untuk berdebat dengan Srimadacharya. Tetapi kemudian orang-orang mendesaknya untuk memperlihatkan kemampuannya mengucapkan Veda dengan tepat. Penuh kebanggaan dia melantunkan sebuah sukta dari bagian pertama Rigveda andalannya, namun di tengah-tengah dia kehabisan napas, sehingga memenggal kalimat Sanskrit tidak pada tempat yang tepat. Jadilah Pundarika tertawaan para murid pemula yang diajari oleh Srimadacharya dan kalah sebelum bertanding. Padahal sebelumnya Pundarika memperolok Srimadacharya berdasarkan penampilan fisik dan aktivitas eksternal yang tengah dilakukannya.


Berikutnya dalam sloka ini dikatakan bahwa tidak ada satupun di ketiga dunia ini yang setara dengan Hanuman. Ini merupakan salah satu cara menyatakan bahwa beliau tiada lain adalah Jivottama itu sendiri. Ini mengingatkan kita pada pernyataan Hari Vayustuti, mahita mahapauruso bahushali... terlalu banyak keagungan dan kemuliaannya sehingga satu kehidupan terlalu singkat, tidaklah cukup untuk mengisahkan semuanya. Sehingga kita hanya bisa puas dengan mengatakan, sudahlah tidak ada yang seperti dirinya di ketiga dunia ini.

SRI MADHVA (5)


Bagi para deva, manusia, dan unsur-unsur alam, beliau hadir sebagai pengendali dan pengatur semuanya. Di dunia ini beliau tidaklah tunduk atau memuja yang lain selain Sri Hari. Beliau adalah Mukhya-pavamana, permata mahkota di antara para guru.

Pada awalnya, Sri Hari dan Laksmi (sebagai Mula-prakriti) menciptakan tiga unsur pembentuk brahmanda (alam semesta duniawi) yaitu satva- (sifat kebaikan), rajo- (sifat nafsu), dan tamo- (kebodohan) guna. Dengan menggunakan triguna ini, Tuhan menciptakan mahattattva sebagai batu pembangun utama. Melalui mahattattva terciptalah ahankara-tattva dan tattva-tattva lainnya. Abhimani devata (deva pengendali) mahattattva adalah Brahma dan Vayu (beserta sakti mereka masing-masing, Sarasvati dan Bharati), sedangkan untuk ahankara tattva adalah Garuda, Sesha, dan Rudra (juga dengan saktinya, Sauparni, Varuni, dan Parvati). Dilihat dari kedudukan ini, karena mahattattva merupakan unsur kunci dalam rangkaian penciptaan, maka tidaklah mengherankan apabila Vayu (dan Brahma) diangkat sebagai wakil utama Sri Hari dalam tubuh ini. Beliau berada di atas para deva yang lain dan memastikan agar semuanya bekerja sesuai dengan kehendak Sri Hari.

Menurut Sruti, Sri Vayu sebagai devata yang juga bertugas dalam mengatur unsur alam semesta tidaklah bertanggung jawab pada siapapun juga dalam hirarki para deva, bahkan kepada Indra yang ditunjuk sebagai penguasa surga dan raja deva. Beliau secara langsung bertanggung jawab kepada Sri Hari. Srimadacharya mengatakan bahwa nanyadeva natastena vasudevanna pujitah, Bhima (Vayu) tidak pernah menyembah deva manapun selain Sri Vasudeva Hari (Mahabharata Tatparya Nirnaya 18.16). Sekalipun di dalam Mahabharata atau Ramayana, Bhima dan Hanuman menghormati Bhisma (kakek), Drona (guru), dan Sugriva (raja), namun mereka melakukannya untuk memberikan contoh teladan kepada dunia, bukan karena mereka lebih tinggi dari Bhima dan Hanuman.

Pada sloka terakhir mengenai Vayu-tattva ini, Srimad Sripadaraja mendadak tidak menggunakan kata namma-kula (keluarga kita atau perguruan kita), tetapi memilih kata gurukula. Hal ini mengingatkan akan salah satu konsep penting dalam Tattvavada yang disebut Taratamya, hirarki dalam ciptaan. Aspek Taratamya yang dibahas di sini adalah bahwa secara alamiah, setiap kelompok yang berada di atas harus menjadi panutan dan guru bagi kelompok yang berada di bawahnya. Secara simbolik menyatakan ada hirarki panjang para guru bagi seluruh ciptaan kosmis, di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, yang berujung pada Tuhan Yang Maha Esa Sri Hari. Puncak dari garis perguruan ini adalah Brahma dan Vayu. Menurut konsep Taratamya, ada golongan yang disebut Riju-devata. Satu yang termulia di antara para Riju menjadi Vayu. Berikutnya Vayu yang ada sekarang akan menduduki posisi Brahma. Sehingga Brahma dan Vayu memiliki sifat rohani yang sama. Secara khusus Vayu merupakan guru bagi semua satvika-jiva, yaitu mereka yang pantas mencapai pembebasan. Srimad Sripadaraja menyebutnya secara puitis sebagai gurukula-tilaka, permata mahkota dalam keluarga besar para guru.