ADA SEORANG BHAKTA-BHAGAVATA YANG SANGAT miskin di India Selatan. Karena dia berasal dari kalangan bawah, tak seorangpun mengetahui namanya. Dia tidak memiliki rumah dan hanya memiliki selembar pakaian compang-camping yang penuh tambalan. Pakaian ini adalah satu-satunya harta yang ada padanya. Setiap kali kainnya berlubang, dia akan menambalnya. Demikian terus-menerus sampai hancur dan tak dapat dipakai lagi barulah dia membuangnya dan mencari kain baru (sebenarnya sih kain bekas) yang dibuang orang. Dia penuh ketidakterikatan dan semangat bhaktinya memenuhi hati.
Sehari-hari hamba Tuhan yang mulia, Mahabhagavata ini, hanyalah menyanyikan lagu-lagu pujian dan nama suci Sri Ranganatha (Sri Vishnu). Kuil Sri Ranganatha (Sri Rangam) memiliki tujuh tembok yang mengelilinginya seperti sebuah benteng. Di antara tembok-tembok ada jalan yang menghubungkan tempat-tempat tertentu dalam kompleks kuil Sri Rangam. Bhakta-bhagavata ini sering tampak duduk di sudut jalan-jalan itu, menyanyikan nama suci Tuhan sambil menambal lubang-lubang di pakaiannya. Karena dia tidak memiliki jarum, dia memakai rontokan sapu ijuk yang diikatkan benang pada ujungnya.
Suatu ketika Sang Mahadeva Siva dan permaisurinya Parvati sedang terbang mengendarai Nandisvara di atas kuil. Bayangan mereka jatuh menimpa jalan di bawahnya. Biasanya orang-orang akan senang bila bayangan Siva Parvati menaunginya karena segala keinginan duniawi mereka akan terpenuhi oleh kehadiran mistis, darshan dan karunia Siva-Sakti. Saat itu bayangan mereka jatuh tepat di tempat Sang Bhagavata duduk dan menambal pakaiannya. Demi merasakan bayangan yang dipenuhi keinginan duniawi, dia segera menyingkir berpindah tempat, kemudian kembali meneruskan menambal pakaiannya.
Parvati heran melihat hal ini, dia kemudian bertanya, ”Prabhu, semua orang berharap kejatuhan bayangan kita. Kenapa pengemis itu justru menyingkir?” Siva menjawab, “Dia adalah seorang Vishnu-bhakta dia tidak punya urusan dengan kita maupun berkat dari kita”. Tapi Parvati bersikeras, “Prabhu, anda harus turun dan memberinya sesuatu!”
Siva dan Parvati kemudian turun dari angkasa dan bertanya kepada dia, “Oh, Bhakta apakah engkau ingin bebas dari kemiskinan? Kami akan membuatmu kaya raya”. Tetapi Bhagavata itu menjawab, “Saya tidak menginginkan apa-apa. Silakan Paduka melanjutkan perjalanan. Saya tidak ingin merepotkan anda”. Tetapi Parvati menjadi penasaran dan mendesak Siva, “Prabhu, beri dia surga!”. Maka kembali Siva menawarkan surga kepada bhakta itu. Jawabannya tetap sama, dia menolak menerima. Kemudian Parvati mengusulkan agar memberikan Brahmaloka, bahkan kedudukan Brahma. Tetapi tetap ditolak. Akhirnya Parvati berkata, “Prabhu, beri dia rupa dan kemuliaan yang setara dengan anda”. Namun ini pun juga ditolaknya.
Siva berkata, ”Segala tawaran kami engkau tolak. Kini katakanlah apa yang engkau inginkan. Mungkin engkau memikirkan hal yang lain”. Bhagavata itu kemudian memandang Siva dan Parvati, ”Kenapa Paduka mendesak seperti ini. Baiklah, saya hanya menginginkan pembebasan tertinggi dari segala keduniawian. Pembebasan sejati. Bebas sepenuhnya bahkan dari keinginan akan bhukti (kenikmatan sensual) dan mukti (kelepasan/moksa). Bisakah Paduka memenuhinya?”
Siva terkejut dan berkata, ”Mukti pradata sarvesam vishnu, hanya Sang Penguasa Segala, Vishnu, yang mampu memberikan pembebasan seperti itu. Ini di luar kuasa saya”. Bhakta-bhagavata itu menjawab, ”Baiklah, saya tidak ingin merepotkan Anda. Janganlah pikirkan keinginan saya ini”.
Tetapi Siva merasa malu. Dengan perlahan beliau berkata, “Mintalah sesuatu yang lain, yang dapat kupenuhi!“. Bhakta itu kemudian berpikir sejenak lalu berkata, ”Bila Anda bersikeras, Anda bisa menolong saya. Anda bisa lihat saya sedang menambal dengan ijuk. Benangnya sulit sekali diam dan terus-menerus terlepas. Bisakah Anda membuat agar benang ini tetap terikat pada ijuknya dan saya bisa bekerja dengan tenang? Saya akan sangat berterima kasih pada Anda”.
Mendengar ini Parvati menjadi terkejut dan marah, “Prabhu, ini suatu penghinaan, Anda bisa beri dia Tribhuvana, seluruh alam semesta dan dia merendahkan Anda dengan permintaan konyol remeh seperti itu!”. Siva merasa tersinggung mendengar ini, kemudian beliau membuka mata ketiganya, memancarkan kobaran api yang menyala-nyala. Dengan tenang bhagavata itu kemudian menginjakkan kakinya ke tanah. Dari ujung jari kakinya muncul juga kobaran api yang lebih besar, menelan api Siva dan terus mengejar Siva-Parvati untuk menghanguskan mereka. Siva dan Parvati berlari, bergegas menuju Ranga-vimanam, kubah emas yang menaungi Ruangan Mahasuci dalam Kuil Sri Rangam. Di hadapan Tuhan Ranganatha mereka berseru, ”O, Bhagavan, kami bersalah pada bhakta-Mu. Tolonglah kami”. Sri Ranganatha kemudian bersabda, ”Jangan khawatir. Kalian juga bhakta-Ku!”. Tuhan lalu menurunkan hujan amrita yang membanjiri Sri Rangam. Awan Vaikuntha, awan yang berasal dari Kediaman Rohani Tuhan Narayana Sendiri, lalu menurunkan badai yang memadamkan api itu. Seluruh daerah itu terbenam hanya dalam waktu singkat. Namun tampaklah di atas air Sang Mahabhagavata duduk dengan tenang, tanpa basah sedikitpun jua, sambil terus menjahit pakaiannya.
Siva dan Parvati segera pergi dari tempat itu dan memohon maaf. Siva berkata, ”Anda begitu mulia sehingga diriku pun tampak tak berharga. Kisah Anda ini akan termashyur dan menjadi bukti betapa agungnya seorang Vaishnava-bhagavata seperti Anda, dan betapa luhurnya bhakti di atas segalanya. Bhakti adalah yang tertinggi dan Anda adalah inti sari dari Bhakti. Saya memberi Anda gelar Bhaktisara, Saripati Cintakasih dan Pengabdian”. Sejak saat itu dia dikenal sebagai Bhaktisara, dan menjadi salah satu dari dua belas Alvar. Sampai saat ini dia termashyur sebagai Bhaktisara Alvar.
Pernah suatu ketika seorang vajrayogi yang sakti terbang di angkasa menunggang harimau melintas di atas tempat Bhaktisara duduk. Seketika harimau kendaraan yogi itu kehilangan kemampuannya untuk terbang. Sang yogi mengerti bahwa Bhaktisara adalah penyebabnya. Dia segera bergegas menemui Bhaktisara dan ber-namaskara. Yogi itu sangat sakti, dia memakai pakaian bagaikan raja dengan jubah kemilauan dihiasi permata. Dia segera mempersembahkan sebuah jubah indah kepada Bhaktisara. Ketika Bhaktisara menyentuhnya, jubah keemasan itu berubah menjadi kain compang-camping seperti yang biasa dikenakannya. Bhaktisara menerima dan memakainya. Kemudian Bhaktisara melepas kain lamanya yang penuh tambalan, yang seketika berubah menjadi jubah indah berkilau bagaikan anyaman benang dari intan, dihiasi emas dan permata. Bhaktisara menghadiahkannya kepada yogi itu yang menerimanya dengan gembira. Setelah menghormat sang yogi kembali terbang ke angkasa menunggang harimaunya menuju utara.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar