Sabtu, 09 Januari 2010

DEBU DI KAKI PARA HAMBA TUHAN


Pada suatu ketika ada seorang hamba Tuhan yang bernama Vipra Narayana. Dia dilahirkan dalam sebuah keluarga brahmana di Madangudi, India Selatan, pada bulan Margali. Secara alamiah dia adalah orang yang suci, sepenuhnya tidak terikat pada keduniawian. Berkat karunia dari Tuhan Sri Ranganatha yang dipuja di Kuil Agung Srirangam, dia memutuskan untuk seumur hidup akan menanam dan menyediakan bunga-bunga serta Tulasi untuk keperluan puja kepada Tuhan, persis seperti Periya Alvar di Sri-Villiputhur. Jadi Vipra Narayana bekerja juga sebagai pemelihara taman bunga kuil Srirangam. Begitu khusuknya dia dalam pekerjaannya sampai-sampai dalam pikirannya tidak ada apapun selain bunga dan Tulasi. Dia sepertinya hanya bisa melihat bunga saja, bukan yang lain. Ada binatang-binatang tertentu yang mencari makan dengan mata terpejam dan hanya memperhatikan keberadaan benda yang menjadi makanannya saja, mengabaikan apapun yang lain, yang ditemukannya sepanjang jalan. Vipra Narayana adalah seorang pemetik bunga yang seperti ini. Ketika dia keluar mencari bunga, maka dia akan menyibak semak-semak dan rerimbunan pohon bunga. Bila tidak ada bunga dia akan berkata, “Ndak ada bunga”, lalu segera pindah ke rimbunan pohon lainnya. Suatu ketika ada seekor ular di tengah rimbunan dedaunan pohon, dia hanya memandangnya saja, dan pergi sambil bergumam, “Ndak ada bunga.” Dia hanya tertarik pada bunga, bukan yang lainnya.

Pada suatu hari ada seorang wanita pelacur di taman bunga itu. Dia datang ke sana bersama kakak perempuannya yang juga pelacur, juga bersama beberapa gadis lain yang seprofesi. Ini bukan pelacur biasa, dia adalah yang paling cantik, kembang rumah bordil paling terkenal di kota itu, namanya Devadevi. Devadevi sangat populer dan ahli mempertunjukkan pesona kewanitaannya, yang bahkan menaklukkan hati para raja. Dia pandai merayu, memainkan berbagai jenis alat musik, menyanyi dengan suara merdu, dan berbagai keahlian seni lainnya. Raja-raja dan orang-orang kaya harus berbaris mengantri bila ingin bertemu dengannya. Khusus untuk para penguasa, Devadevi punya syarat, mereka harus mencopot mahkotanya saat bertemu dengan dirinya. Lihatlah bagaimana seorang raja, yang saat itu tentu sangat berkuasa, dapat ditundukkannya hanya dengan kecantikan dirinya. Devadevi yakin, dia adalah wanita tercantik di dunia ini, ciptaan Tuhan yang paling indah, dan tentu saja semua pelanggan setianya setuju dengan pendapatnya ini.

Devadevi dan saudaranya tengah berjalan-jalan dan tertarik dengan keindahan kebun bunga yang terawat baik oleh Vipra Narayana ini. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di tempat itu. Saat itulah seperti biasa Vipra Narayana datang untuk mengumpulkan bunga. Dia menyibak-nyibak rimbunan dedaunan, memilih-milih dan tepat menuju ke arah Devadevi. Devadevi berdiri di sana dengan pakaiannya yang indah, perhiasan lengkap, dan tentu saja kecanti-kannya. Vipra Narayana melihat ke arahnya sambil menyibak semak-semak, dan berkata, “Ndak ada bunga”, kemudian segera pindah ke bagian taman yang lain. Mendengar dan melihat semua ini, Devadevi merasa tersinggung. “Ndak ada bunga?... Ini lelaki macam apa? Apa dia tidak lihat aku berdiri di sini! Dasar orang buta, orang tidak waras!” Kakak Devadevi yang lebih bijaksana berkata, “Tidak, tidak... Orang itu khusuk dalam Kesadaran Krishna, Kesadaran akan Tuhan. Karena itu dia tidak memperhatikanmu. Itu adalah Vipra Narayana, orang suci yang terkenal di daerah ini. Kita tidak punya urusan dengan orang-orang seperti itu.” Tetapi Devadevi berkata, “Enak saja! Dia boleh jadi apa saja. Aku tidak peduli dia orang suci atau apa. Lihat saja dalam sembilan hari orang itu akan menjadi budakku!” Kakaknya kaget, bisa-bisanya Devadevi berpikir untuk menggoda orang semacam itu, “Kalau kamu mau cari mati, ya sudahlah, tapi aku sudah memperingatkanmu, itu adalah dosa besar.” Devadevi menjawab tegas, “Kamu tunggu saja dan lihatlah. Sembilan hari dari sekarang, dia akan tunduk di bawah kakiku. Dia tidak akan mengucapkan nama suci Ranganatha, dia akan memanggil-manggil namaku. Dia akan menangis untukku, bukan lagi untuk Ranganatha. Dan daripada memetik bunga-bunga untuk Ranganatha, dia akan mencabut sikha (kunciran rambut lambang kebrahmanaan)nya untukku.” Gadis-gadis pelacur lainnya segera pergi karena tak berani mendengar rencana nakal Devadevi itu. Jadilah Devadevi seorang yang datang mendekati Vipra Narayana dengan mempertunjukkan segala kebolehannya, kemolekan tubuhnya, lirikan matanya, dan senyum mautnya. Tetapi Vipra Narayana tidak memperhatikannya sama sekali, dia tetap sibuk mengumpulkan bunga saja. Devadevi sudah mencoba semua teknik yang dipelajarinya dalam kitab ilmu pelacurannya, tapi semua tidak mempan. “Wah ini baru benar-benar tantangan. Aku harus pakai siasat yang lain.” Devadevi menjadi tambah bersemangat.

Akhirnya Devadevi pergi, dia punya siasat jitu dan mendandani dirinya seperti seorang Vairagini, biarawati. Dia menggelung rambutnya, mengenakan busana yang sangat sederhana, kalung suci Tulasi, menghias dahinya dengan tilaka dan semua ciri-ciri Vaishnava. Kemudian dia kembali ke taman bunga itu dengan sebuah vina (sejenis gitar). Dia juga mengetahui bahwa Vipra Narayana sudah menggubah beberapa lagu untuk memuliakan Tuhan Ranganatha, dia mempelajari semuanya, menyanyikannya sambil memetik senar vinanya. Dia sangat ahli dalam gerak gemulai seorang wanita, mempertunjukkan kelembutannya, dan tentu saja seni drama. Dengan penuh perasaan dia menyanyi, airmatanya bercucuran, dan suara tersendat-sendat oleh luapan perasaan. Pertunjukan kebaktian yang sangat indah. Konser lagu-lagu rohani penyanyi tunggal, mungkin salah satu yang terbaik yang pernah ada dalam sejarah. Dengan begini Vipra Narayana, seorang bhakta yang muda dan polos, tidak bisa tidak memperhatikan semua ini.

Mendengar pujian kepada Tuhan Ranganathanya dinyanyikan, hatinya luluh. Dilihatnya seorang wanita suci yang tengah memuliakan Tuhan dengan penuh cinta, berikut segala ciri-ciri kebahagiaan rohani tampak selama nyanyiannya dan iringan musiknya mengalun merdu. Vipra Narayana pun tertarik untuk mendekati dan menyapanya, “Anda adalah seorang penyembah Tuhan yang begitu baik. Apa yang anda lakukan di tempat ini?” Devadevi menjawab, “Oh hidupku sungguh malang. Anda lihatlah, saya lahir dalam keluarga pelacur yang rendah. Sembilan hari lagi umurku sampai untuk pantas dijual oleh ibuku. Saya datang ke sini untuk mencari perlindungan hamba Tuhan, mungkin dengan demikian diriku bisa selamat.” Jadi Vipra Narayana berkata kepadanya, “Ya sudah, saya kira tidak masalah. Anda bisa tinggal di sini. Anda penyanyi yang baik, menyanyilah di sini untuk Tuhan Ranganatha. Bila anda lelah menyanyi anda bisa membuat untaian bunga untuk Tuhan. Tinggallah di sini sesukanya.” Devadevi sangat senang, dengan cara inilah mereka bisa bergaul satu sama lain. Devadevi mendirikan pondoknya di dekat rumah Vipra Narayana. Sepanjang hari dia menyanyi untuk Tuhan Ranganatha dan menguntai kalungan bunga.

Pada jaman itu, pelacuran seperti sebuah profesi keluarga. Seperti varna yang melekat pada kelahiran. Saat itu putra seorang brahmana pasti akan menjadi brahmana, dsb. Mereka tidak akan memilih profesi yang berbeda dengan orangtua dan leluhurnya. Tentu saja pelacuran ada di luar empat varna, artinya dia bukan bagian dari peradaban Veda. Namun mereka mendapat tempat khusus, di luar para penganut Veda. Veda tidak memelihara prostitusi, tetapi juga tidak serta-merta mengutuki dan memusnahkan para pelacur. Tidakkah mereka makhluk hidup, manusia biasa yang sama. Pekerjaan boleh saja kotor, tetapi manusia adalah tetap manusia. Jadi ada golongan penghibur sensual seperti itu, yang menjajakan diri demi memberikan kenikmatan duniawi kepada para pelanggannya. Mereka mengembangkan seni pelacuran dan mewariskannya kepada anak yang lahir dalam keluarganya itu. Seperti sebuah bisnis keluarga yang diwariskan turun-temurun.

Suatu ketika hujan yang lebat disertai badai melanda daerah itu. Pondok darurat Devadevi roboh dan dia berdiri di tengah hujan, basah kuyup. Vipra Narayana melihatnya dengan rasa iba. Dia merasa bersalah membiarkannya kehujanan di luar sana. Hebatnya, Devadevi walaupun di tengah hujan tidak berhenti menyanyikan lagu pujiannya. Segera Vipra Narayana memanggilnya, “Bernaunglah di rumahku. Saya akan tinggal di luar. Anda berlindunglah di dalam!” Devadevi masuk ke dalam dan terus menyanyi sampai akhirnya Vipra Narayana tak dapat mendengar suaranya lagi. Vipra Narayana berpikir, “Apa yang terjadi, mengapa dia berhenti? Apakah ada masalah? Jangan-jangan ada ular atau sesuatu yang berbahaya di dalam. Aku harus melihatnya.”

Sesampainya di dalam dilihatnya Devadevi menangis sedih. “Apa ada masalah?”, tanya Vipra Narayana. “Beberapa hari lagi ibuku akan datang menjemput dan menjadikanku pelacur. Dia sudah tahu saya berada di sini. Aduh entah bagaimana nasibku jadinya.” Devadevi kembali menangis tersedu-sedu, beginilah cara seorang wanita meluluhkan hati pria. Vipra Narayana merasa sangat kasihan kepadanya, apalagi dia mulai bersin-bersin dan menggigil kedinginan, bajunya basah kuyup. Jadi Vipra Narayana memberikan bajunya untuk ganti. Kemudian Devadevi berkata, “Lihatlah kita berdua, sekarang kita berduaan dalam rumahmu. Sayapun memakai bajumu. Kita berdua begitu akrab dalam beberapa hari kebersamaan kita ini. Mengapa engkau tidak menikahi saya. Bila saya menjadi istrimu, maka ibu tidak akan bisa berbuat apa-apa, dan saya tidak akan dijadikan pelacur.” Vipra Narayana berpikir sejenak, “Baiklah. Sejauh saya perhatikan engkau seorang penyembah Tuhan yang baik dan saya senang bersamamu. Bila dengan demikian engkau akan berhenti sedih dan menangis, maka saya akan menikahimu.” Begitulah, mereka berduapun menikah dan bersama sampai hari ke sembilan.

Selama beberapa hari itu Devadevi melayani suaminya dengan begitu baik dan sepenuhnya menaklukkan hatinya dengan pesona kewanitaannya. Pada hari ke sembilan dia pergi dengan senyum kemenangan. Ketika Vipra Narayana mendapati istrinya menghilang, hatinya hancur berkeping-keping. Dia berlari kesana kemari, mencari di manakah istrinya tinggal. Pasti ibunya telah memaksanya untuk menjadi pelacur. Pada saat itu Tuhan Ranganatha lewat di jalan itu bersama Sri Ranganayaki, permaisuri-Nya, dalam sebuah pawai keagamaan. Sriji melihat keadaan Vipra Narayana dan bertanya kepada Sri Ranganatha, “Kenapa anak kita ini, Tuhan?” Sri Ranganatha menceritakan semuanya kepada Ibunda Sri. “Maka Tuhan harus membantunya kembali ke dalam pelayanan kepada Kita”, sahut Sriji. Tuhan Ranganatha tersenyum, Dia mengatakan sudah punya rencana.

Tuhan Sri Ranganatha (Nammperumal) bersama Sang Ibunda Sri Ranganayaki Thayyar saat hari suci Panguni Utthiram

Ada lima buah bokor (wadah air/patra/vatthil) di hadapan Tuhan Ranganatha yang digunakan untuk puja. Dia mengambil salah satunya, yang di tengah dan terbuat dari emas. Tuhan kemudian pergi ke rumah Devadevi dan menemui ibunya dengan menyamar sebagai seorang brahmana. Tuhan berkata, “Nama-Ku Sundararaja (Raja Segala Keindahan), Vipra Narayana mengutus-Ku ke sini untuk membawa ini. Inilah pembayarannya untuk Devadevi.” Ibu Devadevi sangat senang menerima bokor emas yang sangat mahal itu.

Saat itu juga Vipra Narayana berada di depan pintu rumah Devadevi, dengan kesedihannya yang mendalam, memohon untuk dapat masuk menemui Devadevi. Ibu Devadevi keluar dan bertanya, “Siapa kamu?” “Saya Vipra Narayana, saya mencari Devadevi, istri saya.” Ibu itu kemudian menyuruhnya masuk dan menunggu, dia sendiri lalu pergi mencari Devadevi. “Di depan ada yang mencarimu. Salah satu pelangganmu yang bernama Vipra Narayana.” “Orang itu?”, sahut Devadevi, “Dia hanya seorang sadhu yang miskin, untuk apa saya menemuinya. Saya hanya tinggal bersamanya untuk menghancurkan hidup rohaninya, selain itu saya tidak tertarik.” “Kamu ngomong apa? Ini orang kaya lho! Lihat! Dia mengirimkan bokor emas yang sangat mahal ini untukmu.” Akhirnya Devadevi bersedia keluar karena dipaksa oleh ibunya. Dia menemui Vipra Narayana dan berbasa-basi, tetapi tidak berminat untuk berhubungan apapun lagi dengannya.

Sedangkan di tempat lain, yaitu di Kuil Agung Tuhan Sri Ranganatha, kehebohan besar terjadi. Para pendeta panik karena bokor suci dari emas telah hilang. Mereka segera menghadap raja dan melaporkan kasus pencurian. Raja segera memerintahkan polisi kerajaan menggeledah setiap rumah di wilayahnya. Seperti di jaman kita juga, polisi biasanya mulai dari daerah dengan kriminalitas tertinggi, rumahnya para penjahat, dan tentu saja rumah bordil paling terkenal milik keluarga Devadevi juga ada di daerah itu. Para polisi kerajaan sampai di rumah Devadevi dan melihatnya memegang bokor emas kuil. “Hayo, dari mana kalian dapat benda ini!” Segera Devadevi menjawab, “Dia yang membawanya, Vipra Narayana!”, karena Devadevi juga ingin segera terlepas dari Vipra Narayana. Tetapi polisi membawa mereka semua untuk diinterogasi di depan raja. Raja tidak percaya kalau Vipra Narayana yang berbuat seperti itu. Dia mengenal orang ini dengan sangat baik. Tetapi bukti-bukti semua memberatkan. Belum lagi apa kerja seorang brahmana di tempat pelacuran. Benar-benar semua memojokkan Vipra Narayana. Raja memutuskan menunda sidang sampai besok.

Raja pergi kepada Sri Ranganatha dan berdoa memohon pertolongan-Nya agar tidak terjadi kesalahan dalam keputusannya. Tuhan kemudian bersabda, “Bukan Vipra Narayana yang mengambil bokor emas itu. Itu adalah Aku Sendiri. Aku Sendiri yang mengirim benda itu ke rumah Devadevi, karena hamba-Ku Vipra Narayana berhutang padanya. Kalau kamu ingin menghukum seseorang, kamu harus menghukum Aku. Tetapi bagaimana mungkin, karena bokor emas itu adalah milik-Ku Sendiri!” Rajapun kemudian akhirnya mengetahui semua kisah mengenai Vipra Narayana dan Devadevi. Raja memutuskan untuk mengusir Devadevi dari kerajaannya.

Entah bagaimana seluruh keadaan ini menimbulkan pikiran pencerahan dalam diri Devadevi. Hatinya sudah berubah sepenuhnya. Dia berpikir, “Sekalipun saya harus pergi, saya akan pergi sebagai seorang pertapa Vaishnava, karena saya sudah berdosa sangat besar.” Dia bersujud kepada Vipra Narayana, memohon ajaran, dan pergi sebagai seorang Vaishnavi, melanjutkan hidupnya dalam pelayanan pengabdian suci cintakasih yang sejati kepada Tuhan. Vipra Narayana sendiri telah diselamatkan oleh belas kasih Tuhan yang sangat istimewa. Kenangan indah akan Tuhan Pujaan Tercintanya membanjiri hati. Vipra Narayana memutuskan untuk seumur hidupnya meminum air yang digunakan untuk mencuci kaki para Vaishnava, untuk membasuh kekotoran batinnya. Dia kemudian dikenal sebagai Bhaktanghri-renu atau Tondar-adippodi, debu di kaki para Hamba Tuhan. Tondar-adippodi menggubah syair suci-nya, Divyaprabandham yang diberi nama Thirumalai (Untaian Bunga Suci) dan Thiruppalliyelucchi (Paramatma Jagarana, Mambangkitkan Sang Jiwa Tertinggi). Dia lalu menjadi salah satu dari dua belas Alvar.

Sesungguhnya Tondar-adippodi Alvar bukanlah jiwa biasa. Dia adalah penjelmaan dari Vaijayanthi Vanamala, untaian bunga yang dikenakan Tuhan Sri Vishnu. Dia diutus untuk mempertunjukkan drama pertobatan yang tiada bandingannya ini demi kebaikan semua makhluk. Tondar-adippodi juga membuktikan kebenaran janji yang diucapkan oleh Tuhan Sriman Narayana untuk selalu melindungi mereka yang menyerahkan diri kepada-Nya (prapatthi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar